Rabu, 14 Desember 2016

Benarkah Quraish Shihab penganut Syiah?

kali ini penulis mengutip salah satu BAB dalam buku biografi Cahaya, Cinta dan Canda M. Quraish Shihab..menyangkut soal tuduhan yang sering di alamatkan ke beliau..yaitu seorang penganut Syiah, yang penulis ingin kedepankan adalah jangan lah kita gampang menuduh/mencap/melabeli seseorang jika kita tidak memiliki banyak pengetahuan tentang orang tersebut, karena cenderung akan mengarah ke fitnah... 

buku biografi --Cahaya, Cinta dan Canda-- M. Quraish Shihab

ADILI SAYA SEPERTI ABU ZAYD


“Saya minta diadili. Silahkan adili saya!”

S
uara Quraish Shihab meninggi saat menanggapi tudingan, termasuk dari seorang Majelis Ulama Indonesia (MUI), bahwa dirinya penganut Syiah. Ia merujuk kasus Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual Muslim yang divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir pada 1996. Dosen Fakultas Sastra Universitas Kairo itu diadili karena pemikirannya dianggap menyimpang.
            Abu Zayd, antara lain, berpendapat bahwa perkara-perkara gaib yang disebut dalam al-Qur’an seperti ‘arasy, malaikat, setan, jin, surga, dan neraka hanyalah mitos belaka. Abu Zayd juga menyatakan bahwa al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), dan karenanya mengingkari status azalinya sebagai kalamullah yang telah ada dalam al-lauh al-mahfuzh.
            Di pengadilan tingkat pertama, tuntutan yang didukung lebih dua ribu ulama alumnus Universitas al-Azhar atas Abu Zayd ditolak. Namun dipengadilan banding (Mahkamah Isti’naf), yang kemudian diperkuat Mahkamah Agung Mesir, Abu Zayd divonis murtad, dan status pernikahannya dibatalkan.

            “Adili saya seperti Abu Zayd!” tantang Quraish.                     

            Quraish mempersilahkan pengadilan itu mengadilu semua buku dan karyanyam baik cetak maupun audio visual. Dalam pengadilan itu, Quraish akan meminta Syaikh al-Azhar atau ulama yang ditunjuk Mesir menjadi juri. “Kalau terbukti saya Syiah, seluruh biaya peradilannya saya tanggung. Tapi kalau yang menuding saya tidak bisa menemukan bukti, biayanya dia yang nanggung,” tegas Quraish.
            Bukan kali ini saja Quraish mengumbar tantangan. Ketika tudingan dirinya Syiah kencang berembus tahun lalu, Quraish menantang pihak yang menuduhnya untuk menunjukkan bukti dari buku-buku karyanya. “Kalau ada yang bisa menunjukkan saya Syiah, silakan ambil royaltinya.”
            Mengapa tantangan kali ini melibatkan Syaikh al-Azhar atau ulama di Mesir? Sebagai alumus Universitas al-Azhar, Quraish paham betul bahwa para ulama Mesir yang mayoritas Sunni, akan bersikap objektif dalam menilai pemikirannya. Mereka memiliki parameter yang ketat sebelum memvonis seseorang menganut Syiah atau tidak.
            “Bahkan orang yang berkata Sayyidina Ali (bin Abi Thalib) lebih utama dari Sayyidina Umar(bin Khaththab), itu bukan tanda bahwa dia Syiah, yakni pada kepercayaan Imamah, kepemimpinan pengganti Rasulullah,” kata Quraish.
            Quraish sesungguhnya tak peduli dirinya dicap Syiah, atau bahkan Muktazilah sekalipun. Tapi benarkah ia penganut Syiah? Menurutnya, meskipun prinsip dasarnya terkait kepercayaan akan imamah, secara simbolis mudah saja untuk melihat pertanda seseorang menganut Syiah atau tidak. “Lihat saja waktu saya menunaikan ibadah haji, apakah saya kalau naik bus menggunakan atap terbuka seperti yang dilakukan jamaah haji Syiah. Kalau saya shalat, apakah menggunakan batu Karbala di tempat sujud? Kalau saya berbuka puasa, apakah menundanya 10 hingga 15 menit seperti orang Syiah?”
            Quraish menduga, boleh jadi orang menilainya Syiah, karena dalam sejumlah ceramah atau karya tulisnya tersurat kecintaannya yang teramat dalam pada Ahlul Bait; keluarga Nabi Muhammad dan keturunannya dari Fathimah dan Ali bin Abi Thalib. “Saya memang cinta Ahlul Bait karena saya punya hubungan darah dengan mereka. Jadi cinta saya berganda. Yang pertama karena saya tahu akhlak luhur mereka. Kedua, karena mereka kakek-nenek saya.”
            Cinta Ahlul Bait! Itulah yang ditanamkan dan kerap diingatkan sejak masa kanak-kanak Quraish oleh aba Abdurrahman Shihab dan Habib Abdul Qadir Bilfaqih, pimpinan pesantren Dar al-Hadits al-Faqihiyah.
            Setahu Quraish, memang tidak ada cela pada Ahlul Bait, “Kalaupun ada cela, itu bukan dari mereka. Imam Ja’far ash-Shadiq itu gurunya sekian banyak ulama mazhab. Sayidina Husein dan Imam Ali Zainal Abidin sangat dijunjung tinggi di Mesir, bahkan oleh orang-orang Sunni. Orang-orang NU juga sangat mencintai Ahlul Bait.”
            Quraish tak tahu kapan persisnya tudingan Syiah muncul pertama kali. Seingatnya, “cap syiah” mulai berembus ketika ia meluncurkan edisi percobaab Ensiklopedia al-Quran pada 1997. Quraish lah yang menggagas sekaligus memimpin penyusunannya sejak 1992, melibatkan puluhan dosen dan mahasiswa pasca sarjana Institut Agama Islam (kini Universitas Islam Negeri) Jakarta.
            Terhalang kesibukannya sebagai Menteri Agama, lalu Duta Besar RI untuk Mesir dan Djibouti, Quraish baru bisa melanjutkan proyeknya beberapa tahun kemudian. Kali ini melibatkan lebih banyak lagi pakar ilmu tafsir, termasuk sejumlah doctor lulusan Universitas al-Azhar. Pada 2007, Ensiklopedia Al-Quran: Kajian Kosakata dan Tafsirnya setebal 2100 halaman dan terbagi dalam 3 jilid itu akhirnya diterbitkan atas kerjasama Pusat Studi Al-Quran, Lentera Hati, dan Yayasan Paguyuban Ikhlas.
            Quraish dicap Syiah, karena beberapa bagian dari buku ini mengutip tafsir Al-Mizan karya Muhammad Husain Thabathaba’i. karya-karya cendekiawan kelahiran Tabris, Iran, tahun 1903 itu, termasuk tafsir Al-Mizan, memang sangat dikenal dan menjadi rujukan para ulama kontemporer Syiah. Meski tak selalu sepakat dengan sejumlah pemikiran Thabatthaba’I, namun Quraish merasa perlu mengutip pendapat Syiah ini. “Amanah ilmiah mendorong kami untuk mengutip pendapat yang kami yakini kebenarannya, dan bermanfaat bagi pembaca,” kata Quraish.
            Karena panggilan amanah ilmiah pula Qurasih mengutip sejumlah pemikiran Thabathaba’I dalam Tafsir al-Mishbah, disamping ulama tafsir lain, seperti sayyid Muhammad Thanthawi, Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi, Sayyid Qutb, Ibnu ‘Asyur dan, Ibrahim Ibn ‘Umar al-Biqa’i. Tafsir Al-Mishbah yang terdiri dari 10.000 halaman lebih, terbagi dalam 15 jilid dan ditulis Quraish selama empat tahun, tuntas lebih dulu dibanding Ensiklopedia Al-Quran. Cap Syiah usai menerbitkan al-Mishbah lantaran mengutip Thabathaba’i juga berseliweran.
            Namun, tudingan dan “cap Syiah” usai menerbitkan karya ilmiah, tak segencar disbanding ketika Quraish disebut-sebut bakal ditunjuk sebagai Menteri Agama oleh Presiden Soeharto pada Kabinet Pembangunan VII, Maret 1998. Saat itu, aktivis dari Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) bahkan melansir surat pernyataan Osman Ali Babseil, warga Arab Saudi lulusan Universitas Kairo yang mengaku pernah berkawan dengan Quraish pada periode 1958-1963 di Mesir.
            Pada pernyataannya, Osman mengaku sangat mengenal perilaku Quraish dalam membela akidah Syiah. Dalam sejumlah dialog, menurut Osman, Quraish juga menunjukkan sikap dan ucapan yang membela Syiah. Seraya bersumpah soal kesahihan pengakuannya, Osman yakin, sikap Quraish tak berubah seiring perjalanan waktu, meski puluhan tahun berlalu.
            Quraish santai saja menanggapi pengakuan itu. “Bisa jadi ucapan pak Osman itu lahir dari kealpaan dan lupannya. Ketika studi di Mesir, pak Osman sudah bertugas sebagai guru di Sekolah Indonesia. Saya tidak bergaul dengannya, apalagi tempat tinggalnya cukup jauh dari asrama mahasiswa al-Azhar. Dia pun jarang bergaul dengan mahasiswa. Atau mungkin juga pak Osman menduga bahwa yang mencintai Ahli Bait adalah Syiah, apalagi pak Osman tidak berlatar belakang pendidikan agama—lebih-lebih persoalan aliran-aliran dalam Islam.”
            Benar juga peribahasa Arab yang mengatakan: “Tidak semua yang putih itu lemak, tidak juga yang hitam itu kurma.” Dalam konteks ini menurut Quraish “Pak Osman mempersamakan sesuatu yang tidak sama,”
            Pada kali lain Quraish juga menanggapi: “Menyetujui pendapat satu kelompok, tidak otomatis menjadikan yang bersangkutan bagian dari kelompok itu. Membela pemikiran Syiah, tidak otomatis membuat saya jadi Syiah. Saya bukan Syiah, tapi saya tidak setuju untuk menyatakan Syiah itu sesat.”
            Tapi rupanya tudingan itu sampai juga ke telinga Presiden Soeharto dan menjadi perhatiannya sebelum menunjuk Quraish sebagai Menteri Agama. Pak Harto memang tidak bertanya langsung, melainkan lewat putranya, Bambang Trihatmojo. “Pak Quraish dituduh Syiah, gimana ini?”
            “Jangan tanya saya. Tanya saja pak Rally,” jawab Quraish, memnunjuk MS Rally Siregar, Direktur Utama RCTI, stasiun televise yang saat itu masih milik Bambang Tri. Quraish sering mengisi acara-acara keagamaan di RCTI, termasuk Sahur Bersama M. Quraish Shihab yang tayang selama bulan Ramadhan 1417 atau 1997.
            Suatu hari, RCTI diprotes karena menayangkan ceramah keagamaan seorang dai yang disebut-sebut menganut Syiah. Sebelum menghentikan sang dai, Rally Siregar, Dirut RCTI tahun 1991-1999, meminta pendapat Quraish. “ Saya setuju, Pak Rally, orang Syiah itu tidak perlu dikasih kesempatan tampil di RCTI, karena bisa memunculkan suasana tidak enak, dan menimbulkan perpecahan,” jawab Quraish. Sikap Quraish itu menjadi jawaban Rally saat ditanya Bambang Tri terkait tudingan Syiah.
            Penyelidikan pak Harto tak berhenti lewat Bambang. Dia pun “mengutus” putrid sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut. Dalam beberapa kesempatan, Mbak Tutut dan Quraish terlibat perbincangan seputar isu Syiah. “Bukan hanya tudingan Syiah, Mbak Tutut bahkan bertanya, pak Quraish ini NU atau Muhammadiyah? Saya menduga, Mbak Tutut juga bertanya pada banyak sumber soal tuduhan saya Syiah,” kata Quraish.
            Dari pengalaman itu, Quraish yakin muatan politis di balik tudingan Syiah lebih kenal disbanding muatan ideologis. Itulah kenapa tudingan dirinya Syiah lebih kencang berembus saat ia akan ditunjuk sebagai Menteri Agama disbanding ketika meluncurkan karya ilmiah yang “dianggap bermuatan” pemikiran ulama Syiah, seperti Tafsir al-Mishbah­ dan Ensiklopedia Al-Qur’an.
            Menjelang pemilu Presiden 2014, isu Syiah kembali santer. Maklumlah, Qurasih di akhir masa kampanye, secara terbuka mengisyaratkan dukungan pada salah satu kandidat, pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Karuan saja, tak lama setelah kemunculannya di arena panggung terbuka, Salam 2 Jari di stadion Gelora Bung Karno, media social santer membincang “ke-syiah-annya”.
            Demikan halnya ketika seorang Ketua MUI secara terbuka menyebutnya Syiah. Quraish menganggap tudingan koleganya itu cenderung bermuatan politis ketimbang sebagai upaya “ menjaga kemurnian akidah Ahlus Sunnah”. “Saya merasa ada udang di balik batu. Meskipun tidak berpartai, beliau kan politisi,” kata Quraish. Sayangnya, ucapan sang tokoh kerap menjadi rujukan umat. Dan ketika menjadi isu public, orang-orang yang tak memahami persoalan, dan tak mengerti Syiah, pun ikut-ikutan mengumbar tudingan.
            Ada kerisauan di mata Quraish mendapati realitas terkini betapa sejumlah orang merasa hanya kelompoknya yang benar dan enggan menerima perbedaan. Dan lebih merisaukan lagi menyaksikan betapa mudahnya orang menuduh pihak lain sesat atau kafir. Menurut Quraish, “penyakit lama” sikap intoleran itu menunjukkan tanda-tanda kambuh lagi, dan berpotensi mengancam kerukunan antar umat beragama di Indonesia.
            “Ghirah keagamaan mereka sangat kuat, tapi picik. Apalagi sekarang ada bahaya ISIS,” katanya menyebut kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah, yang “merasa benar sendiri”, dank arena kepicikannya bahkan tega menghabisi nyawa orang-orang yang tak sepaham dengan mereka, termasuk penganut Syiah.
            Jiwa Quraish kembali terpanggil untuk mempertemukan dua hal yang berbeda, atau bahkan bertolak belakang. Quraish mengakui, prinsip “mempertemukan” telah mewarnai perjalanan hidupnya. Dan prinsip itu pula yang mendorongnya menulis buku Sunnah Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah? terbitan Lentera Hati (2007). Pada kata pengantar Quraish menulis: “Tiada lain tujuan penulis kecuali terjalinnya hubungan harmonis antar semua kelompok umat Islam, bahkan seluruh umat manusia.”
            Mengutip pendapat para ulama dan pakar Sunnah-Syiah, dalam buku tersebut Quraish ingin menegaskan, memang terdapat sejumlah perbedaan antar Sunnah dan Syiah, tapi persamaannya jauh lebih banyak dari perbedaannya. “Perbedaan antara keduanya adalah perbedaan cara padang dan penafsiran, bukan perbedaan dalam ushul atau prinsip-prinsip dasar keimanan, tidak juga dala rukun-rukun Islam.”
            Quraish juga mengajak pembacanya untuk melihat Syiah dalam kontek kekinian. Syiah sebagai mazhab yang masih dianut di sejumlah negara, bukan dalam konteks historis. “Bicaralah tentang Syiah masa kini. Kalau masa lalu, memnag ada Syiah ghulat yang sesat, yang percaya bahwa Ali itu Nabi. Sebagaimana di kalangan Sunni. Di Syiah juga ada perkembangan pemikiran,” kata Quraish.
            Perbedaan perspektif—antara masa lalu dan kini—inilah yang diingatkan Quraish saat menanggapi buku Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Terbitan Pustaka Sidogiri Kraton Pasurua (2007). Buku yang disusun Tim Penulis dari Pondok Pesantren Sidogiri, Jawa Timur, itu merupakan tanggapan atas buku Quraish, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?
            Karena perbedaan perspektif tadi, awalnya Quraish enggan menanggapi buku dari Pesantren Sidogiri. Namun atas desakan sejumlah pihak, Quraish kemudian menulis tanggapan dalam Kata Pengantar Sunnah Syi’ah Bergandengan Tangan, Mungkinkah? edisi terbaru, Mei 2014. Di sini Quraish menegaskan pentingnya mencari titik temu dan meningkatkan sikap toleransi, bukan malah mempertajam pebedaan.

           “Amat disayangkan ada di antara umat Islam yang termakan oleh isu yang ditumbuh suburkan oleh musuh-musuh (Islam) sehingga lahirlah sekian orang atau kelompok yang enggan melakukan pendekatan, bahkan mengajak untuk menoleh, lalu kembali ke masa lalu yang kelam dan diliputi perpecahan. Kita mestinya mengarah ke depan karena kita adalah putra-putri masa kini, bukan masa lalu”

            Pada bagian lain, Quraish menjelaskan bahwa “upaya mendekatkan” adalah keniscayaan yang dituntut agama, demi kepentingan jangka pendek dan panjang umat:

            “…pendekatan itu bukanlah bermaksud menjadikan mereka menyatu, tapi mengundang mereka memahami sikap masing-masing secara objektif dan adil, lalu bergandengan tangan tanpa melebur identitas, yakni biarlah yang Sunni tetap Sunni dan yang Syiah pun tetap Syiah. Namun, keduanya berjalan seiring mengarah ke depan menuju kejayaan umat dan bangsa.”

            Qurasih juga menyayangkan tiadanya sanggahan baru dari para santri muda Pesantren Sidogiri itu terhadap bukunya:

            “Yang ada hanya pengulangan pendapat-pendapat lama yang telah usang, yang hidangannya bila disodorkan pada masa kini sudah basi atau sangat membosankan, seakan-akan kita hidup pada masa lalu, atau seakan-akan kita terlambat lahir.”

            Quraish mengingatkan, sudah saatnya para pemimpin umat meninggalkan wacana soal khilafiyah (perbedaan) mazhab yang berpotensi memecah belah. “Bukankah banyak hal yang lebih penting, seperti menegakkan keadilan yang menjadi inti ajaran agama, atau mendorong upaya pemberantasan korupsi?”

Selasa, 13 Desember 2016

Tafsir Al-Azhar Surah Al Maidah 51-52

Tulisan ini penulis kutip dari kitab Tafsir Al-Azhar karya Prof. Dr. HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) 
mudah-mudahan bisa menjadi referensi tambahan dari kitab-kitab Tafsir lainnya



Untuk memperteguh disiplin, menyisihkan mana kawan mana lawan, maka kepada orang yang beriman diperingatkan,

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin.”
[pangkal ayat 51]

            Di sini jelas dalam kata seruan pertama, bahwa bagi orang yang beriman sudah ada satu konsekuensi sendiri Karena imannya. Kalau dia mengaku beriman pemimpin atau menyerahkan pimpinannya kepada Yahudi atau Nasrani. Atau menyerahkan kepada mereka rahasia yang tidak patut mereka ketahui, sebab dengan demikian bukanlah penyelesaian yag akan didapat, melainkan bertambah kusut.
            Maka hal yang penting menjadi perhatian kita di sini ialah bahwa disebutkan nama golongan mereka, yaitu Yahudi dan Nasrani. Tidak disebutkan nama kehormatan lain yang kita pakai untuk mereka, yaitu Ahlul Kitab.
            Ahli-ahli tafsir yang mendalami balaaghah kata Al-Quran mengatakan bahwa di sini memang tidak pantas disebut, “Janganlah kamu ambil Ahlul Kitab jadi pemimpin.” Sebab di dalam kitab-kitab yang mereka terima itu pada pokoknya tidak ada ajaran yang memusuhi tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.. Dan kalau diri dilepaskan dari ta’ashub(fanatic) golongan, kitab-kitab yang terdahulu itu tidaklah berlawanan dengan Al-Quran. Tetapi setelah mereka menonjolkan golongan, dengan menamai diri Yahudi dan Nasrani, maka Islam(penyerahan diri kepada Allah Yang Maha Esa) sudah ditinggalkan, dan dipertahankan golongan, dan pendirian yang mereka pilih telah salah.
            Kemudian terus Allah melanjutkan firmanNya, “Sebagian mereka adalah pemimpin-pemimpin dari yang sebagian.” Maksud ayat ini dalam dan jauh. Artinya jika pun orang Yahudi dan Nasrani itu yang kamu hubungi atau kamu angkat menjadi pemimpinmu, meskipun beberapa orang saja, ingatlah kamu bahwa sebagian yang berdekat dengan kamu itu akan menghubungi kawannya yang lain, yang tidak kelihatan menonjol ke muka. Sehingga yang mereka kerjakan di atas itu pada hakikatnya ialah tidak turut dengan kamu.
            Kadang-kadang lebih dahsyat lagi dari itu. Dalam kepercayaan sangatlah bertentangan di antara Yahudi dengan Nasrani; Yahudi menuduh Maryam berzina dan Isa al-Masih hidup, orang Yahudi memusuhi Nasrani, dan kalau Nasrani telah kuat kedudukannya, mereka pun membalaskan permusuhan itu pula dengan kejam sebagaimana selalu tersebut dalam riwayat lama dan riwayat zaman baru. Tetapi apabila mereka hendak menghadapi Islam, yang keduanya sangat membencinya, maka yang setengah mereka akan memimpin setengah yang lain. Artinya dalam menghadapi Islam, mereka tidak keberatan bekerja sama.
            Sebagaimana pernah terjadi di Bandung pada masa Republik Indonesia telah memilih Anggota Badan Konstituante. Wakil-wakil partai-partai Islam ingin agar di dalam Undang-undang dasar yang akan dibentuk itu dicantumkan tujuh kalimat, yaitu, “Dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya.” Maka seluruh partai yang membenci cita-cita Islam itu sokong-menyokong, pimpin-memimpin, beri-memberi, menentang cita-cita itu, walaupun di antara satu sama lain berbeda ideology dan berbeda kepentingan. Dalam menghadapi Islam mereka bersatu. Bersatu Katolik, Protestan, partai-partai nasional, partai sosialis, dan partai komunis.
            Dalam gelanggang internasional pun begitu pula. Pada tahun 1964 Paus Paulus VI, sebagai Kepala Tertinggi dari gereja Katolik mengeluarkan ampunan umum bagi agama Yahudi. Mereka dibebaskan dari dosa yang selama ini dituduhkan kepada mereka , yaitu karena usaha merekalah Nabi Isa al-Masih ditanggkap oleh Penguasa Romawi dan diserahkan kepada orang Yahudi, lalu disalib,(menurut kepercayaan mereka).
            Sekarang setelah 20 abad Yahudi dikutuk, Yahudi dihina di mana-mana dalam dunia Kristen, tiba-tiba Paus member mereka ampun.
            Ampun apakah ini, sehingga pegangan kepercayaan 2.000 tahun dapat diubah demikian saja?
            Tidak lain, adalah Ampunan Politik. Tenaga Yahudi yang kaya raya dengan uang harus bersatu padu dengan Kristen di dalam menghadapi bahaya Islam. Kemudia, 1967, negeri-negeri Arab diserang Yahudi dalam masa empat hari dan Jerusalem (Baitul Maqdis) dirampas dari tangan kaum Muslimin, padahal telah 14 Abad mereka punyai. Dan tiba-tiba datanglah gagasan dari gereja Katolik agar kekuasaan atas Tanah Suci kaum Muslimin, wilayah turun-temurun selam 1.300 tahun labih dari bangsa Arab supaya diserahkan kepada satu Badan Internasional. Tegasnya, kepada PBB sedang yang berkuasa penuh dalam PBB itu adalah Negara-negata Kristen. (Perancis Katolik, Amerika Protestan, Inggris Anglicant), dan Rusia (Komunis)
            Mungkin di zaman Rasulullah sendiri yang demikian belum tampak, sebab di kota Madinah hanya masyarakat Yahudi yang terbesar di antara kedua agama itu, dan masyarakat Nasrani ada di Syam (utara) dan Najran-Yaman(Selatan) tetapi keajaiban Al-Quran kita rasakan kian terang setelah kita perhatikan jalan sejarah. Yaitu dalam perkembangan selanjutnya, kedua agama yang sangat bermusuhan itu dapat bersatu-padu di dalam menghadapi dan memusuhi Islam. Sampai berdiri Negara Israel di tanah orang Islam, dengan bantuan bangsa-bangsa pemeluk Kristen lebih dekat kepada Islam, sebab Islam membantah keras kepercayaan Yahudi bahwa Nabi Isa anak di luar nikah, dan memang lahir dengan Maha kekuasan Allah dari seoarang anak dara yang suci. Sedangkan Islam membantah keras kalau Nabi Isa itu dikatakan Tuhan. Islam mereka musuhi karena tidak mengakui Isa itu Allah, dan Yahudi mereka rangkul jadi teman, meskipun mereka mengatakan Isa anak zina!
            Sambungan ayat, “Dan barangsiapa yang menjadikan mereka itu pemimpin di antara kamu, maka sesungguhnya dia itu telah termasuk golongan dari mereka.”
            Suku ayat ini amat penting diperhatikan. Yaitu barangsiapa yang mengambil Yahudi atau Nasrani menjadi pemimpinnya, tandanya dia telah termasuk golongan mereka, artinya telah bersimpati kepada mereka. Tidak mungkin seseorang yang mengemukakan orang lain jadi pemimpinnya kalau dia tidak menyukai orang itu. Meskipun dalam kesukaannya kepada orang yang berlain agama itu, dia belum resmi pindah ke dalam agama orang yang disukainya itu. Menurut riwayat dari Abd Humaid, bahwa sahabat Rasulullah saw. yang terkenal Hudzaifah bin al-Yaman pernah berkata,
“Hati-hati tiap-tiap seorang daripada kamu, bahwa dia telah menjadi Yahudi atau Nasrani, sedang dia tidak merasa”
            Lalu dibacanya ayat yang sedang kita tafsirkan ini, yaitu kalau orang telah menjadikan mereka itu jadi pemimpin, maka dia telah termasuk golongan orang yang diangkatnya jadi pemimpin itu.
            Perhatikanlah bagaimana bangsa-bangsa penjajah Kristen yang telah menaklukkan negeri-negeri Islam, yang mula-mula mereka kerjakan dengan sungguh-sungguh ialah mengajarkan bahasa mereka, supaya rakyat Islam yang terjajah itu berpikir dalam bahasa bangsa yang menjajah, lalu mereka lemah dalam bahasa sendiri dan terpengaruh dengan peradaban dan kebudayaan bangsa Kristen yang menjajahnya itu. Kian lama kian hilanglah kepribadian umat yang terjajah tadi, hilang pokok asalnya berpikir dan hilang perkembangan bahasanya sendiri. Lalu yang dipandangnya tinggi ialah bangsa yang menjajahnya itu. Hal ini telah kita alami di zaman penjajahan Belanda di Indonesia dan penjajahan Perancis di Afrika Utara, dan penjajahan Inggris di Tanah Melayu dan India. Maka orang yang pangkalannya berpikir masih dalam Islam, merasa rumitlah menghadapi orang-orang yang mengaku Islam ini, sebab dia telah berpikir dari luar Islam. Bertahun-tahun lamanya kita yang memperjuangkan Islam musti memberikan kepada mereka keterangan agama sepuluh kali lebih sulit daripada memberi keterangan kepada seorang Amerika atau Eropa yang ingin memeluk Islam. Sebab rasa cemooh kepada agama, sinis, acuh tak acuh telah memenuhi sikapnya; mereka itu menamai dirinya Kaum Intelek yang meminta keterangan agama yang masuk akal. Padahal akalnya itu telah dicekok oleh didikan asing, sehingga kebenaran tidak bias masuk lagi. Kadang-kadang terhadap orang seperti ini, seorang muslim yang taat harus bersikap seperti “menatang minyak penuh”, sebab batinnya pantang tersinggung. Bukan akal mereka yang benar cerdas atau rasionalis melainkan jiwa mereka yang telah berubah, sehingga segala yang bagus adalah pada bangsa yang menjajah mereka, dan segala yang buruk adalah pada pemeluk agamanya sendiri.
            Orang semacam inilah yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun di dalam Muqaddimah tarikhnya, (Pasal ke II, Kitab Pertama, no. 23) Kata beliau,
            “Orang yang kalah selalu meniru orang yang menang, baik dalam lambangnya, atau dalam cara berpakaian, atau kebiasannya, dan sekalian gerak-gerik, dan adat-istiadatnya. Sebabnya ialag karena jiwa itu selalu percaya bahwa kesempurnaan hanya da pada orang yang telah mengalahkannya itu, lalu dia menjadi penurut peniru. Baik oleh karena telah sangat tertanam rasa pemujaan, atau karena kesalahan berpikir, bahwa keputusan bukanlah karena kekalahan yang wajar, melainkan karena tekanan rasa rendah diri dan yang menang selalu benar!”
            Barangsiapa yang mengangkat pemeluk agama lain itu jadi pemimpin tidaklah berarti bahwa mereka mengalih agama.
            Agama Islam kadang-kadang masih mereka kerjakan, tetapi hakikat Islam telah hilang dari jiwa mereka. Saking tertariknya dan tergadainya jiwa mereka kepada bangsa yang memimpinnya tidak mereka keberatan lagi menjual agama dan bangsanyaa dengan harga murah. Ketika Belabda sudah sangat kepayahan menghadapi perlawanan rakyat Aceh mempertahankan kemerdekaan mereka, sehingga nyaris gagal, maka yang menunjukkan cara bagaimana memusnahkan dan mematahkan perlawanan itu ialah seorang jaksa beragama Islam yang didatangkan dari daerah luar Aceh: Dia membrikan advis supaya Belanda mendirikan tentara Marsose yang selain dari memakai bedil dan kelewang, hendaklah memakai rencong juga, sebagaiman orang Aceh itu pula, buat memusnahkan pahlawan Muslimin Aceh yang masih bertahan secara gerilya. Kononnya beliau dalam kehidupan pribadi adalah seorang Islam yang taat shalat dan puasa. Dan dia mendapat bintang Willemsorde dari Belanda karena jasanya menunjukkan rahasia-rahasia umatnya seagama itu.
            Orang seperti ini banyak terdapat dalam sejarah. Negerinya hancur, agamanya terdesak dan buat itu dia diberi balas jasa, yaitu bintang! Maka tepatlah apa yang dikatakan oleh sahabat raulullah saw. tadi, yaitu mereka telah jadi Yahudi, dan di sini telah jadi Nasrani, padahal mereka tidak sadar.

“Sesungguhnya Allah tidaklah akan member petunjuk kepada kaum yang zalim.”
[ujung ayat 51]

            Maka orang yang telah mengambil Yahudi atau Nasrani menjadi pemimpinya itu nyatalah sudah zalim. Sudah aniaya. Sebagaimana kita maklum kata-kata zalim itu berasalah dari zhulm, artinya gelap. Mereka telah memilih jalan hidup yang gelap, sehingga terang dicabut Allah dari dalam jiwa mereka. Mereka telah memilih musuh kepercayaan, meskipun bukan musuh pribadi. Padahal di dalam surah al-Baqarah ayat 120 telah diperingatkan bahwa Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha sebelum umat Islam menuruti jalan agama mereka. Mereka itu bias senang pada lahir, kaya dalam benda, tetapi umat mereka jadi melarat karena kezaliman mereka. Lantaran itu selamanya tidak akan terjadi kedamaian. Sebab umat Islam yang memegang teguh tauhid, selama-lamanya akan menyimpan dendam dalam hati, sampai mereka mendapat kemerdekaan kembali. Dan orang yang jiwanya dipimpin oleh Yahudi dan Nasrani itu akan tetap menjadi kudis dan borok di  hadapan mata mereka.
            Di ayat ini ditegaskan bahwa yang dilarag ialah mengambil mereka jadi pemimpin. Tetapi pergaulan manusia di antara manusia, yang sadar akan diri tidaklah terlarang. Seumpama sekarang ini, negeri-negeri umat Islam telah merdeka. Kita akan berhubungan dalam soal-soal ekonomi, kita tidak akan mengisolasi diri. Bahkan di dalam surah al-Hujuraat ayat 13, dengan tegas Allah berfirman,
“Wahai manusia! Sesuguhnya telah kami ciptakan kamu itu dari seorang laki-laki dan sorang perempuan, dan telah Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu kenal-mengenal. Sesungguhnya kaum yang paling muia di sisi allah ialah yang paling takwa kepada-Nya. Sesungguhnya Allah itu adalah Mahatahu, dan Maha Mengerti.”(al-Hujuraat: 13)

            Demikian juga tidak ada larangan berbaik-baik dengan tetangga yang memeluk agama lain. Rasulullah saw. memberikan contoh pula dalam hal ini. Beliau pernah menggadaikan perisainya kepada tetangganya yang Yahudi buat pembeli gandum. Beliau pernah menyembelih kambing untuk makanan sendiri, lalu khadamnya disuruhnya segera menghantarkan sebagian daging kambing itu ke rumah tetangganya Yahudi itu. Kita orang Islam boleh kawin dengan Ahlul Kitab dengan tidak usah perempuan itu memeluk agama Islam, terlebih dahulu. Sebab pimpinan rumah tangga adalah di tangan suami, bukan ditangan istri. Tetapi ahli fiqih Islam sama pendapat bahwa laki-laki Islam hanya tinggal nama saja, tidak boleh kawin dengan perempuan pemeluk agama lain “karena pancing bias dilarikan ikan”. Sedang perempuan Islam dilarang kawin dengan laki-laki pemeluk agama lain, sebab pimpinan rumah tangga di tangan laki-laki. Hanya boleh kalau laki-laki itu pemeluk Islam terlebih dahulu.
            Di dalam pemerintahan Islam, penguasa Islam dibolehkan memberikan kepercayaan kepada pemeluk agama lain untuk memegang satu jabatan, sebab pimpinan tertinggi adalah ditangan Islam. Sebab itu tidaklah ada kekhawatiran. Tetapi kalau timbul khawatir tidaklah boleh.
            Ada berbagai pendapat macam pendapat telah dikemukakan tentang sebab turunnya ayat ini. Salah satu sebab turun yang diriwayatkan dalam hadits bahwa penduduk Arab Madinah, dari persukuan Khazraj dan Aus, sebelum mereka memeluk Islam dahulu, telah membuat perjanjian bantu-membantu dengan persukuan-persukuan Yahudi yang ada di Madinah. Yaitu Bani Nadhir, Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa’. Setelah agama Islam mereka peluk dan Nabi Muhammad saw. berpindah ke negeri Madinah, Rasulullah pun membuat perjanjian-perjanjian pula dengan suku-suku Yahudi itu akan hidup berdampingan secara damai. Kalau kota Madinah diserang orang dari luar, mereka akan turut bertahan. Dan keamanan mereka beragama dijamin oleh Rasulullah saw.. Maka tersebutlah bahwasanya kemudian suku-suku Yahudi itu mungkir akan janjinya, bahkan berkhianat.
            Yang mula berkhianat ialah Yahudi Bani Nadhir. Seketika Rasulullah datang ke kampong mereka, mengumpulkan derma pembantu bayaran diyat karena Amr bin Umayyah membunuh dengan kekhilafan seketikan kembali dari sumur maa’uunah, beliau disambut dengan manis oleh mereka. Tetapi setelah Rasulullah duduk bersandar pada satu dinding rumah, mereka telah berbisik-bisik hendak  menjatuhkan  sebuah lesung batu dari sutuh rumah, rupanya Rasulullah mendapat ilham bahwa ada bahaya, sehingga beliau segera berdiri dan menghindarkan diri dari dinding itu. Dan beliau selamat.
            Pengkhianatan itu segera diketahui. Maka setelah dikumpulkan dengan bukti-bukti yang lain, maka dikepunglah kampong Bani Nadhir itu dan mereka disuruh menyerah. Tetapi Abdullah bin Ubay, kepala orang-orang munafik menyuruh mereka bertahan dan bersdia hendak membantu, karena merasa terikat dengan janji lama akan bantu-membantu. Tetapi setekah diadakan kepungan yang sungguh-sungguh, satu orang pun tidak ada pengikut Abdullah bin Ubay yang datang membantu, sehingga pengusiran berjalan terus.
            Memang ada beberapa sahabat Rasulullah yang karena kekuatan imam dan rasa ksatria ditumbuhi rasa kesulitan karena janji-janji bantun-membantu yang dahulu telah diperbuat itu. Tetapi beberapa orang sahabat yang teguh hatinya langsung menyatakan sikap. Diantaranya ialah Sa’ad bin Mu’az, sesudah pengkhinatan Bani Quraizhah dalam peperangan al-Ahzaab(perang Khandaq/parit) Dialah yang menjatuhkan hukum bahwa Bani Quraizhah itu harus dihukum, semua laki-laki dibunuh dan anak istrinya dijadikan tawanan, dan harta benda dirampas. Padahal Bani Quraizhah yang khianat itu mengharap Sa’ad membela mereka, sabab dahulu ada janji bantu-membantu. Yahudi yang berkhianat terlebih dahulu, sebab itu mereka menanggungkan akibatnya.
            Yang tegas pula ialah Ubadah bin Shamit. Seketika orang-orang seperti Abdullah bin ubay secara munafik membela Yahudi, maka Ubadah bin Shamit datang menghadap Rasulullah dan menyatakan sikapnya yang tegas. Dan berkata dihadapan beliau,”Ya Rasul Allah! Ikatan janji kami dengan Yahudi akan bantu-membantu, tolong-menolong. Aku tahu mereka itu keras sikapnya, banyak senjata mereka, kukuh persatuan mereka. Tetapi sungguh pun demikian, hari ini aku akan menentukan sikap. Aku melepaskan diri dari ikatan itu, dan langsung berlindung kepada Allah dan rasul-Nya. Tidak ada pimpinan bagiku melainkan pimpinan Allah dan Rasul”
            Tetapi di dalam majelis itu juga Abdullah bin Ubay menyatakan bahwa dia tidak ada maksud hendak membatalkan janji itu. Kemudian ternyata bahwa dia tidak sanggup memegang janjinya dengan Yahudi itu dan tidak pula terang berpihak kepada Islam; sehingga dia dicaplah sebagai munafik.
            Meskipun terdapat beberapa riwayat tentang sebab turun ayat, namun yang kita jadikan pedoman ialah isinya. Karena tersebut di dalam kaidah ushul fiqih,

“Yang dipandang adalah umum maksud perkataan, bukanlah sebab yang khusus.”

            Artinya, yang dipandang ialah maksud dan tujuan perkataan, bukanlah tentang sebab turunnya ayat. Apatah lagi larangan Allah ini berlaku selama dunia terkembang bagi kepentingan penjagaan Islam senidiri.
            Bukankah telah pernah berates-ratus tahun lamanya negeri-negeri Islam menjadi jajahan dari orang yang beragama Nasrani? Bagaimana hebatnya percobaan mereka sebagai pihak yang berkuasa hendak memaksakan agama mereka dan menghilangkan pengaruh Islam? Kita sendiri sebagai negeri bekas dijajah sudah pernah merasai itu. Mereka telah masuk dengan berbagai cara. Cobalah perhatikan dalam kota Jakarta sendiri, yang sekarang menjadi ibu kota Republik Indonesia, adakah bertemu bekas bahwa zaman penjajahan itu umat Islam boleh mendirikan masjid yang agak pantas di tempat yang agak patut? Masjid-masjid hanya terpencil di belakang-belakang lorong, di pinggir-pinggir kota, sedang ditempat yang dan megah, gerejalah yang berdiri. Sebab pimpinan adalah di tangan mereka.
            Pendidikan dan pengajaran kanak-kanak pun termasuk pimpinan yang penting. Bagaimana jadinya anak-anak Islam, kalau pimpinan pendidikan mereka diberikan kepada guru yahudi atau Nasrani? Sedang mereka, sebagai dikatakan dalam ayat tadi, adalah menjadi pemimpin antara satu dengan yang lain, artinya mempunyai organisasi yang kuat.
            Teingatlah penulis, bahwa kira-kira tahun 1920, seorang Demang(pegawai pemerintah penjajahan Belanda, tetapi beragama Islam) meminta nasihat soal perkara agama, yaitu nusyuz yang terjadi di antara suami istri Islam. Demang itu meminta keputusan perkara orang itu, meskipun secara advis, kepada adviseur uoor Inlansche Zaken, yang dipimpin oleh seorang orientalis yang sangat ahli tentang soal-soal Islam. Yaitu Dr. Hazeu. Lalu advis ahli itu pun datang, padahal advisnya itu diambil dari hukum fiqih yang sangat kaku. Waktu itulah ayah dan guruku Dr. Syekh Abdul Karim Amrullah yang mengajar agama Islam di Padang Panjang menyatakan bandingan atas huku Dr. Hazeu itu dengan tegas, sehingga advis Dr. Hazeu itu tidak jadi terpakai. Padahal sebelum  Dr. Hazeu, Adviseur pemerintah Belanda tentang Islam, masih ulam; yaitu Sayyid Osman al-Alawi. Sebelum itu, pada tahun 1911 keluar fatwa Ayahku itu di dalam majalah al-Munir menjawab pertanyaan seseorang, apakah Tuanku Laras boleh dijadikan wali hakim, dengan tegas beliau jawab, tidak! Sebab meskipun Tuanku Laras seorang kepala Bumiputra, bukanlah dia pimpinan agama, melainkan pegawai dari pemerintah Belanda.
            Tentunya termasuk di sini mengambil karangan orientalis Barat yang katanya ahli dalam soal-soal Islam, untuk dijadikan mata pelajaran Islam pada sekolah-sekolah tinggi, seumpama karangan Young Bull yang terkenal tentang fiqih. Karangan-karangan Orientalis Barat tentang Islam hanya baik untuk dijadikan tinjauan belaka, tetapi amat berbahaya untuk dijadikan pegangan; kecuali kalau yang belajar itu hendak mengetahui bagaimana pandangan dan penghargaan ulama Islam sendiri.

“Maka akan engkau lihat orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, berlomba-lombalah mereka kepada mereka.”
[pangkal ayat 52]

            Inilah kalimat yang sangat tepat. Bahwasanya yang mau menjadikan Yahudi dan Nasrani menjadi pimpinan, tidak lain daripada orang yang di dalam hatinya telah ada penyakit. Penyakit, terutama yag pertama ialah munafik. Yang kedua ialah agamanya itu hanya sekadar nama sebutan belaka, sebab kebetulan mereka keturunan orang Islam. Bagi mereka sama saja, apakah pimpinan itu Islam atau Yahudi atau Nasrani, asal ada jaminan hidup. Bahkan sampai kepada zaman kita teah merdeka sekarang ini, masih belum sembuh benar penyakit itu. Di kota-kota besar, bukan saja di tanah Jawa yang telah lama pengaruh Belanda, bahkan di Sumatera, bahkan di Sumatera Barat, sebagai di Padang, Bukittinggi, dan Payakumbuh, telah penuh sesak sekolah sekolah yang didirikan Kristen yang dimasuki oleh anak-anak orang Islam. Dan melihat sekolah mereka telah mulai laku, mulailah mereka mengatur bahwa anak-anak Islam yang masuk ke dalam sekolah mereka mesti pula turus mengerjakan sembahyang Kristen kalau terjadi upacara sembahyang.
            Dengan ini dapatlah kita pahamkan bahwa pekerjaan menegakkan Islam mempunyai berbagai ragam segi yang wajib diisi semuanya dan meminta waktu dan kesabaran. Kalau kita lihat bahwa berjuang agar hukum Allah berlaku di dalam suatu negara, sebagaimana pada ayat sebelum ini sudah kita bentangkan, maka lebih hebat lagi untuk menginsafkan umat Islam agar jangan menyerahkan pimpinan kepadamYahudi dan Nashara. Padahal kita pun mengakui bahwa didalam zaman sekarang ini hanyalah ilmu pengetahuan yang tinggi-tinggi ada pada mereka, ilmu pengetahuan yang tinggi-tinggi ada pada mereka sebagai tersebut di dalam sebuah hadits yang shahih,

“Hakikat adalah barang mahal orang Mukmin yang hilang. Oleh sebab itu, pungutlah dia dimana pun bertemunya.”

Kita memerlukan teknik Eropa, ilmu kedokteran Amerika, kepandaian ilmu alam Rusia, ilmu perang, dan lain-lain. Tetapi kita wajib selalu awas, jangan sampai pimpinan jiwa kita, keimanan kita akan tergadai lantaran itu. Sebab itu maka awasilah jiwa sendiri agar jangan ditimpa penyakit. Karena hanya jiwa yang sakit yang dapat kena pengaruh mereka, “Berkata mereka,” yaitu jiwa-jiwa yang telah sakit itu, “Kami takut bahwa akan menimpa kepada kami kecelakaan.” Persis beginilah jawaban dari orang yang berjiwa sakit, ketika ditanya mengapa mereka menyerahkan pimpinan kepada Yahudi dan Nasrani. Mereka menjawab, “Kalau kita tidak serahkan pimpinan kepada mereka niscaya kita celaka.” Kalau pimpinan anak saya tidak diserahkan kepada mereka, tentu civil effect atau nasib penghidupan anak saya di belakang hari tidak terjamin, sebab sekolah-sekolah kepunyaan Kristen itu amat lengkap persediaanya dan amat rapi pelajarannya.
Kalau ditanya, “ Bagaimana urusan agama anak itu kelak?” Maka si orang tua yang jiwa agamanya telah sakkit itu memberikan jawaban yang amat lemah.
Asalnya kaum yang dalam hatinya ada penyakit ini, berkata demikian di zaman Rasul saw. ialah di saat-saat mereka masih menyangka bahwa Islam tidak akan menang, dan lawan-lawannya, terutama Yahudi masih kuat. Maka buat orang yang imannya teguh, Allah memberikan pengharapan, “Moga-moga Allah akan mendatangkan kemenangan atau suatu keadaan dari sisi-Nya.” Melihat lawan masih kuat, orang-rang yang beriman janganlah lekas patah semangat dan lemah harapan. Asal keyakinan tetap teguh, kemenangan pasti datang dan keadaan akan berubah. Keadaan tidak akan tetap begitu-begitu saja. Dalam sejarah ternyatalah apa yang telah dibayangkan Allah sebagai pengharapan itu, sehingga orang-orang Yahudi jatuh pamor mereka satu demi satu dan hilang segenap kebesaran dan pengaruh mereka dari tanah Arab, dan Daulat Islam berdiri. “Maka jadilah mereka itu.” Yaitu orang-orang yang telah telanjur menyerahkan pimpinan kepada Yahudi dan Nasrani itu.

“Atas apa yang mereka simpan-simpan dalam hati mereka, menjadi orang-orang yang menyesal.”
[ujuang ayat 52]

            Orang yang lantaran di dalam jiwa telah ada penyakit, oleh karena kelemahannya dan pendirian yang tiada tetao, di waktu melihat musuh masih kuat, tidak merasa yakin akan kemenangan Islam; sebab itu mereka menyeberang ke pihak sana. Kemudian ternyatalah bahwa Islam itu lebih kuat dari apa yang mereka sangka bermula. Lantaran itu menyesallah mereka, hidup sudah serba salah dan langkah sudah terlanjur.

Tafsir Al-Azhar Surah Al Maidah 49-50

Tulisan ini penulis kutip dari kitab Tafsir Al-Azhar karya Prof. Dr. HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) 
mudah-mudahan bisa menjadi referensi tambahan dari kitab-kitab Tafsir lainnya



“Dan bahwa hendaklahengkau menghukum di antara mereka itu dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, dan janganlah engkau turuti hawa nafsu mereka, agar jangan sampai mereka fitnahi engkau dari setengah apa yang diturunkan Allah kepada engkau.”
[pangkal ayat 49]

            Menurut riwayat yang dikeluatrakn oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu jabir dan Ibnu Abi Hatim dan al-Baihaqi di dalam Dalaailun Nubuwwah dari Ibnu Abbas bahwa beberapa orang pemuka Yahudi, yaitu Ka’ab bin Asad, dan Abdullah bin Shuriya, dan Syaas bin Qais pernah bermufakat hendak menemui Nabi Muhammad saw. dengan maksud memfitnahi beliau dalam agamanya. Mereka datanglah menemui beliau, lalu berkata, “Ya Muhammad, engkau sudah tahu bahwa kami-kami ini adalah pendeta-pendeta Yahudi, lagi mulia dan berpengaruh dalam kalangan mereka. Kalau kami menuruti engkau, maka seluruh Yahudi akan menuruti jejak kami, dan tidak seorang yang aka membantah. Tetapi di antara kami sekarang ini ada perselisihan dengan kaum kami. Maka kalau suka menjatuhkan hukum yang memenangkan kami dan mengalahkan mereka, kami akan segera beriman dan membenarkan engkau.” Dengan keras Nabi saw. telah menolak saran itu. Demikian bunyi riwayat sebab turun ayat ini.
            Nabi Muhammad saw. tidak mau menerima usul itu. Masakan beliau mau mengubah kebenaran lantaran mengharapkan mereka masuk Islam? Apa gunanya masuk Islam dengan menempuh jalan yang salah? Niscaya Rasulullah memeriksa terlebih dahulu perselisihan dan dendam kesumat itu dengan saksama; kalau mereka mengaku hendak masuk itu ternyata di pihak yang salah, adakah beliau membela yang salah? Ayat ini pun datanglah membela pendirian beliau dan memperteguh tegak beliau. Perbuatan orang-orang itu bukanlah menghasilkan yang baik, melainkan menimbulkan fitnah yang lebih berakibat buruk.
            Tentu saja mereka akan berpaling, tidak jadi masuk Islam karena permintaan mereka itu ditolak keras. Maka datanglah terusan ayat, “Maka sekirannya mereka berpaling, ketahuilah oleh engkau, bahwa Allah tidaklah mau, melainkan menyiksa mereka dengan setengah dari dosa-dosa mereka.” Kalau permintaan mereka tidak dikabulkan, mereka akan berpaling. Sebab niat mereka itu nyatalah jahat adanya. Mereka pasti akan ditimpa Allah dengan siksaan batin yang hebat sekali karena dosa-dosa mereka yang semacam itu.
            Orang-orang semacam itu memang orang yang telah rusak budi mereka. Mereka telah berani memutar hukum, lari dari Taurat kepada hukum Al-Quran karena mengharap mencari yang lebih ringan, sebab sudah terlalu banyak memakan uang suap. Sekarang mereka berani mengemukakan tawaran mau masuk Islam, asal dalam perselisihan mereka sama mereka, pihak mereka dimenangkan. Apa harganya orang seperti ini masuk Islam? Biarkan mereka berpaling. Biarkan mereka melanjutkan langkah mereka, karena kesudahan dari langkah demikian tidak lain dari kehinaan diri mereka sendiri, kerusajan akhlak luar biasa. Biarkan mereka melanjutkan langkah mereka mempermainkan agama untuk kepentingan diri sendiri. Orang yang begini tidak akan berubah, melainkan akhir kelaknya akan menerima kontan balasan langkah mereka,

“ Dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia adalah sungguh-sungguh fasik.”
[ujung ayat 49]

            Memanglah banyak manusia yang seperti ini kerusakan jiwa mereka, telah mudah saja mencakapkan yang tidak-tidak, karena jiwa yang telah fasik. Orang-orang yang seperti ini apa guna diterima dalam Islam. Padahal Islam hendaklah ditegakkan di atas budi yang mulia dan luhur, ketaatan kepada Allah dan takwa, dan menegakkan keadilan dan kebenaran.
“Apakah hukum secara jahiliyah yang mereka ingini? Padahal siapakah yang lebih baik daripada Allah hukum-Nya? Bagi kaum yang berkeyakinan?”
[ayat 50]

            Hukum jahiliyah ialah apa yang di zaman sekarang disebut Hukum Rimba yaitu memenagkan yang salah dan mengalahkan yang benar. Bukan berdasar atas keadilan, tetapi atas kekuatan. Siapa yang kuat dialah yang dibenarkan, walaupun dia salah. Yang lemah dikalahkan, biarpun di pihak yang benar. Pengaruh karena ketinggian kedudukan, karena dia pemuka agama, karena dia bangsawan, karena dia berpangkat tinggi, karena dia disegani, semuanya menjadi fakta utama di dalam mempertimbangkan hukum. Sebab itu di zaman jahiliyah tidaklah ada perlindungan yang kuat atas yang lemah. Itu sebabnya maka kerap terjadi perang kabilah, perang suku. Pemuka-pemuka Yahudi itu mau masuk Islam, asal mereka dimenagkan. Apakah itu yang mereka maui dari Islam? Astagfirullah! Apakah untuk  mereka mau masuk Islam? Subhanallah! Yang ditegakkan Rasulullah ialah hukum Allah, hukum keadilan, membenarkan yang benar, menyalahlan yang salah, walaupun fitnah apa yang akan diterima lantaran mempertahankan kebenaran Allah itu. Karena hukum Allah itulah yang benar, dan itulah pokok sekalian hukum. Ini hanya dapat dirasakan oleh kaum yang mempunyai keyakinan, yaitu kaum yang beriman.
            Perhatikanlah sekali lagi! Ayat ini berupa pertanyaan, “Apakah dengan hukum secara jahiliyah yang mereka ingini?” Berupa pertanyaan yang disebut Tanya bantahan(istifham inkari) Artinya bahwa isi ayat mengandung keheranan mengapa mereka mengakui diri beragama Islam, mengikuti Islam, mengikuti Nabi Muhammad saw., padahal mereka masih menghendaki hukum jahiliyah? Tidakkah ini terlalu? Apakah ini masuk akal? Apakah artinya jadi orang Islam, kalau shalat menurut Allah tetapi hukumnya bergantung kepada jahiliyah? Dan boleh ditambah dengan banyak pertanyaan lagi! Semuanya bantahan!
            Allah! Allah! Teringat kita kepada penafsiran Hudzaifah bin al-Yaman dan Ibnu Abbas di atas tadi. Apakah segala yang manis-manis hanya khusu buat kita dan yang pahit-pahit buat Ahlul Kiyab. Buat Bani Israil? Bukanlah dengan teguran ayat ini pun kadang-kadang bertemu pada kita kaum Muslimin sendiri?
            Kembali pada hukum jahiliyah, bila kehendak Al-Quran berlawanan dengan hawa nafsu?
            Di sinilah terasa beratnya memikul tugas menjadi ulama dalam Islam. Yakni di samping memperdalam pengetahuan tentang hakikat hukum, memperluas ijtihad, hendaklah pula ulama kita meniru meneladan ulama pelopor zaman dahulu itu, sebagai Imam Malik, Abu Hanifaf, asy-Syafi’I, dan Ahmad bin Hambal, dan lain-lain, yaitu keteguhan pribadi dan kekuatan iman, sehingga di dalam menegakkan hukum mereka itu tidak dapat dipengaruhi oleh harta benda, dan tidak sampai mereka mengubah-ubah makna dan maksud ayat, karena tenggang-menenggang atau ketakutan; walaupun untuk itu diri-diri beliau kerap kali menderita.
            Itulah ulama Islam, bukan ulama Yahudi.


***

Sabtu, 26 November 2016

Tafsir Al-Mishbah Surah Al-Maidah Ayat 51-52

Tulisan ini penulis kutip dari kitab Tafsir Al-Mishbah karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA 
mudah-mudahan bisa menjadi referensi tambahan dari kitab-kitab Tafsir lainnya...


AYAT 51-52

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliyaa’, sebagian mereka adalah auliyaa’ bagi sebagian yang lain. Barang siapa diantara kamu menjadikan mereka auliyaa’, maka sesungguhnya dia termasuk sebagian mereka. Sesungguuhnya Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Maka engkau akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya bersegera mendekati mereka seraya berkata: ‘Kami takut mendapat bencana.’ Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan atau suatu ketetapan dari sisi-Nya. Maka karena itu mereka menjadi orang-orang menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka”

Jika keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani—atau siapapun—seperti dilukiskan oleh ayat-ayat yang lalu, yakni lebih suka mengikuti hukum jahiliah dan mengabaikan hukum Allah, bahkan bermaksud memalingkan kaum muslimin dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah, maka  hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani serta siapa pun yang bersifat seperti sifat mereka yang dikecam ini, jangan mengambil mereka sebagai auliyaa’, yakni orang-orang dekat. Sifat mereka sama dalam kekufuran dan dalam kebencian kepada kamu. Karena itu wajar jika jika sebagian mereka adalah auliyaa’ yakni penolong bagi sebagian yang lain dalam menghadapi kamu karena kepentingan mereka dalam hal ini sama, walau agama dan keyakinan mereka satu sama lain berbeda.  Barang siapa di antara kamu menjadikan mereka yang memusuhi Islam itu sebagai auliyaa’, maka sesungguhnya dia termasuk sebagian  dari kelompok  mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk, yakni tidak menunjuki dan tidak mengantar, kepada orang-orang yang zalim menuju jalan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
Karena Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim, maka engkau, wahai Nabi Muhammad dan siapa pun yang mampu memerhatikan, akan melihat dengan mata kepala atau mata pikiran, orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya, baik karena kemunafikan maupun keraguan, bersegera  bagaikan berlomba dengan yang lain untuk mendekati mereka, yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani itu, seraya berkata dalam hati mereka, atau kepada orang lain, sebagai dalih menutupi kemunafikan atau sikap mereka bahwa: “Kami menjadikan mereka auliyaa’ karena kami amat takut mendapat bencana yang demikian besar yang meliputi kami akibat perubahan situasi sehingga, jika itu terjadi, pasti bencana itu akan menimpa kami tanpa dapat kami hindari.”
Jika demikan ucapan dan perilaku mereka, maka mudah-mudahan Allah Yang Mahaagung akan mendatangkan kemenangan melalui perjuangan orang-orang beriman sehingga musuh yang mereka takuti itu tidak berdaya, atau suatu ketetapan dari sisi-Nya, tanpa usaha sedikit pun dari kaum beriman. Maka, jika itu terjadi, akan terbuka kedok orang-orang munafik dan mereka, mereka menjadi orang-orang yang sangat menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka, yakni keinginan mereka menghambat ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.
Kata tattakhidzu/kamu mengambil terambil dari kata akhadza, yang pada umumnya diterjemahkan mengambil, tetapi dalam penggunaannya kata tersebut dapat mengandung banyak arti sesuai dengan kata atau huruf yang disebut sesudahnya. Misalnya, jika kata disebut sesudahnya—katakanlah—“buku”, maknanya “mengambil”; jika ”hadiah” atau “persembahan”, maknanya “menerima”; jika “keamanannya”, berarti “dibinasakan”. Kata ittakhadza dipahami dalam arti mengandalkan diri pada sesuatu untuk menghadapi sesuatu yang lain. Nah, jika demikian, apakah ayat tersebut melarang seorang Muslim mengandalkan non-Muslim? Tidak mutlak karena yang dilarang di sini adalah menjadikan mereka auliyaa’.
Dalam al-Quran dan terjemahan oleh Tim Departemen Agama, kata auliyaa’ diterjemahkan dengan pemimpin-pemimpin. Sebenarnya, menerjemahkan demikian tidak sepenuhnya tepat. Kata auliyaa’ adalah bentuk jamak dari kata waliy. Kata ini terambil dari akar kata yang terdiri huruf-huruf wauw, lam, dan ya’ yang makna dasarnya adalah dekat. Dari sini kemudian berkembang makna-makna baru, seperti pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama, dan lain-lain yang kesemuanya diikat oleh benang merah kedekatan. Itu sebabnya Ayah adalah orang paling utama yang menjadi waliy anak perempuannya karena dia adalah yang terdekat kepadanya. Orang yang amat taat tekun beribadah dinamai waliy karena dia dekat kepada Allah. Seorang yang bersahabat denga orang lain sehingga mereka selalu bersama dan saling menyampaikan rahasia karena kedekatan mereka juga dapat dinamai waliy. Demikian juga pemimpin karena dia seharusnya dekat dengan yang dipimpinnya. Demikian dekatnya sehingga dialah yang pertama mendengar panggilan bahkan keluhan dan bisikan siapa yang dipimpinnya, dan karena kedekatannya itu dia pula yang pertama dating membantunya. Demikan terlihat bahwa semua makna yang dikemukakan di atas dapat dicakup oleh kaya auliyaa’.
Dengan memahami kata yang dibahas ini dalam arti kedekatan cinta kasih, bertemulah ayat diatas dengan firman-Nya dalam QS. al-Mumtahanah [60]:1 :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuh kamu sebagai auliyaa’, kamu menyampaikan kepada mereka (berita-berita Nabi Muhammad) karena rasa cinta kasih; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu.” Mereka itu pada akhirnya oleh surah al-Mumtahamah ini disifati dengan orang-orang zalim. “Dan barang siapa menjadikan mereka auliyaa’, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS. al-Mumtahamah [60]:9), sama dengan sifat yang disebut oleh surah al-Maidah [5]: 51 : ”Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
            Larangan menjadikan non-Muslim sebagai auliyaa’ yang disebutkan ayat di atas, dikemukakan dengan sekian pengukuhan. Antara lain: 1) pada larangan tegas yang menyatakan janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin. 2) Penegasan bahwa sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. 3) Ancaman bagi yang mengangkat mereka sebagai pemimpin bahwa ia termasuk golongan mereka serta merupakan orang yang zalim.
            Kendati demikian, larangan tersebut tidaklah mutlak sehingga mencakup seluruh makna yang dikandung oleh kata auliyaa’.
            Muhammad Sayyid Thanthawi dalam tafsirnya mengemukakan bahwa non-Muslim dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, adalah mereka yang tinggal bersama kaum muslimin, dan hidup damai bersama mereka, tidak melakukan kegiatan untuk kepentingan lawan Islam serta tidak juga tampak dari mereka tanda-tanda yang mengantar kepada prasangka buruk terhadap mereka. Kelompok ini mempunyai hak dan kewajiban sosial yang sama dengan kaum muslimin. Tidak ada larangan untuk bersahabat dan berbuat baik kepada mereka, sebagai mana firman Allah:

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik/memberikan sebagian dari harta kamu dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. al-Mumtahanah [60]:8).

            Kedua, kelompok yang memerangi atau merugikan kaum muslimin dengan berbagai cara. Terhadap mereka tidak boleh dijalin hubungan harmonis, tidak boleh juga didekati. Merekalah yang dimaksud oleh ayat ini, demikian juga dengan ayat-ayat lain, seperti:

“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai teman-teman dekat kamu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu(orang lain) untuk mengusirmu” (QS. al-Mumtahanah [60]:9).

            Ketiga, kelompok yang tidak secara terang-terangan memusuhi kaum muslimin, tetapi ditemukan pada mereka sekian indicator yang menunjukkan bahwa mereka tidak bersimpati kepada kaum muslimin tetapi mereka bersimpati kepada musuh-musuh Islam. Terhadap mereka Allah memerintahkan kaum beriman agar bersikap hati-hati tanpa memusuhi mereka.
            Firman-Nya: Barang siapa di antara kamu menjadikan mereka auliyaa’, maka sesungguhnya dia termasuk sebagian mereka mengisyaratkan bahwa keimanan bertingkat-tingkat. Ada di antara orang-orang yang hidup bersama Rasul ketika itu yang keimanannya masih belum mantap, masih diselubungi oleh kekeruhan atau semacam keraguan. Mereka tidak harus merupakan orang-orang munafik yang menampakkan keimanan tetapi menyembunyikan kekufuran. Mereka tetap dinamai orang-orang yang beriman. Kendati demikian, keraguan yang masih terdapat dalam hati mereka, dan yang merupakan salah satu bentuk penyakit jiwa, itulah yang mengantar mereka mengambil sikap bersahabat sangat erat dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Keraguan itulah yang menjadikan mereka khawatir mendapat bencana. Mereka adalah sebagian dari yang dimaksud oleh ayat di atas dengan orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya.
            Firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim bukan berarti tidak menyampaikan kepada mereaka tuntunan agama, tetapi dalam arti mereka tidak diantar menuju jalan kebahagianan. Untuk jelasnya, bacalah kembali penafsiran ayat keenam surah al-Fatihah (ihdina ash-shirath al-mustaqim).
            Kata ‘asa bila pelakunya adalah Allah, seperti firman-Nya di atas, fa’asa Allah/mudah-mudahan Allah dipahami oleh banyak ulama sebagai isyarat tentang kepastian. Kata ‘asa/mudah-mudahan mengandung makna harapan, dan harapan, adalah sesuatu yang belum pasti. Ini bila pelaku kata ini makhluk. Tetapi, kalau pelakuknya adalah Allah, sifat Allah Yang Maha Mengetahui itu mengubah makna harapan tersebut menjadi kepastian. Penggunaan kata ‘asa/mudah-mudahan dalam ayat ini dan semacamnya merupakan pengajaran kepada umat Islam agar tidak memastikan sesuatu menyangkut masa depan. Ini sejalan dengan tuntunan-Nya:

“Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (mengaitkannya dengan) insyaAllah/jika dikehendaki Allah” (QS. Al-Kahf [18]:23).

            Kata fath/kemenangan dalam al-Quran pada umumnya menunjuk kepada peristiwa kemenangan Rasul saw. memasuki dan menguasai kota Mekkah, walau tidak semua kata fath bermakna demikian. Dalam ayat ini boleh jadi yang dimaksud adalah Fath Makkah, boleh jadi juga keberhasilan mengusir para Yahudi yang berkhianat dari kota Madinah, atau kemenangan umat terhadap musuh-musuh mereka kapan dan di mana pun.

Tafsir Al-Mishbah Surah Al-Maidah Ayat 49-50

Tulisan ini penulis kutip dari kitab Tafsir Al-Mishbah karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA 
mudah-mudahan bisa menjadi referensi tambahan dari kitab-kitab Tafsir lainnya...

kitab tafsir al-mishbah - volume 3 (tafsir surah al-maidah & surah al-anam)


AYAT 49

“Dan hendaklah engkau memutuskan(perkara) di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah hendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya banyak dari manusia adalah orang-orang yang benar-benar fasik “

Sekali lagi, melalui ayat ini, Allah mengulangi perintah-Nya menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan-Nya, yang telah diperintahkanNya pada ayat lalu. Agaknya, perintah pada ayat lalu adalah sebagai konsekuensi turunnya petunjuk Ilahi, dan perintah pada ayat ini adalah karena apa yang diturunkan itu merupakan kemaslahatan manusia. Perintah ini perlu ditekankan karena orang-orang Yahudi dan yang semacam mereka tidak henti-hentinya berupaya menarik hati kaum muslimin dengan berbagai cara. Apalagi dalam ayat lalu ditegaskan bahwa, bagi masing-masing umat, Allah telah berikan aturan dan jalan yang terang. Penegasan ini dapat mengesankan bahwa hingga saat datangnya Nabi Muhammad saw., mereka masih berada dalam kebenaran, dan ajaran yang dibawah oleh Nabi Muhammad saw. tidak berlaku umum. Nah, untuk menghilangkan kesan itu, perintah tersebut diulangi, yakni: Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka, yakni Ahl al-Kitab dan lain-lain, menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka karena hawa nafsu mengantar mereka menjadikan agama sebagai alat mencapai tujuan. Maka, camkanlah perintah ini. Dan berhati-hatilah terhadap ulah serta tipu daya mereka supaya mereka tidak memalingkanmu walaupun hanya dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling dari hukum yang telah diturunkan Allah yang pada hakikatnya sesuai dengan kemaslahatan mereka sendiri, bahkan sejalan dengan kandungan kitab suci mereka sendiri, bahkan sejalan dengan kandungan kitab suci mereka, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah hendak menimpakan musibah yakni siksa kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka, antara lain keengganan mereka mengikuti apa yang diturunkan Allah itu. Dan sesungguhnya banyak dari manusia adalah orang-orang yang benar-benar fasik.
Firman-Nya:  Supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu menekankan kewajiban berpegang teguh terhadap apa yang diturunkan Allah secara utuh dan tidak mengabaikannya walau sedikit pun. Di sisi lain, hal ini mengisyaratkan bahwa lawan-lawan umat Islam akan senantiasa berusaha memalingkan umat Islam dari ajaran Islam, walau hanya sebagian saja. Dengan meninggalkan sebagian ajarannya, keberagamaan umat Islam akan runtuh. Ini karena sel-sel ajaran Islam sedemikian terpadu, mengaitkan sesuatu yang terkecil sekalipun dengan Allah swt. –Wujud Yang Mahaagung. Lihatlah bagaimana al-Qur’an mengaitkan jatuhnya selembar daun kering dengan pengetahuan dan izin Allah swt. (baca QS. Al-An’am [6]:59). Perhatikan juga bagaimana Rasul saw. mengaitkan antara masuk ke WC dan permohonan perlindungan kepada Allah swt. Bila sebagian dari hal-hal kecil itu dilepaskan dari Allah swt., tidak mustahil bangunan Islam secara keseluruhan dapat runtuh.
Redaksi ayat ini tertuju kepada Rasul saw. Kalau terhadap beliau saja yang ma’shum(dipelihara Allah sehingga tidak akan terjerumus kedalam dosa) maka lebih-lebih umat beliau, yang sama sekali tidak ma’shum. Di sisi lain, ayat ini membuktikan bahwa adanya pemeliharaan Allah itu atau janji kemenangan dari-Nya tidak boleh menjadikan seseorang, betapa pun bertakwanya, untuk mengabaikan usaha dan ikhtiar menghadapi aneka godaan dan tantangan.
Firman-Nya: Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah hendak menimpakan musibah kepada mereka merupakan hiburan kepada Nabi saw. yang menghadapi keengganan orang-orang Yahudi dan Nasrani menerima ajakan beliau. Demikan itu semua tujuan ayat yang melarang beliau bersedih karena kengganan mereka beriman bukan karena kesalahan Nabi Muhammad, bukan juga kurangnya kesungguhan beliau berdakwah, tetapi karena memang Allah menghendaki demikian berdasar kebijaksanaanNya untuk tidak memaksa seseorang memeluk agama, bahkan membiarkan siapa yang enggan beriman larut dalam kedurhakaannya. Itulah yang dimaksud kehendak Allah. Selanjutnya, kata ketahuilah pada penggalan ayat di atas agaknya sengaja dicantumkan untuk mengisyaratkan bahwa penyampaian hakikat itu adalah sebagai pengajaran kepada Nabi Muhammad saw. dan siapa pun tentang “kendak Allah” dalam pengertian di atas sehingga, karena hal itu merupakan kehendak-Nya, tidak wajar keengganan mereka beriman melahirkan kesedihan. Bukankah itu kehendak-Nya juga? Bukankah kalau Dia menghendaki segalanya dapat terjadi? Bukankah tak satu pun yang dapat mengalahkan kehendak-Nya? Firman-Nya dalam QS. al-Kahf [18]: 6-8 menjelaskan hakikat tersebut secara lebih gamblang. Di sana ditegaskan-Nya bahwa:

Maka sungguh sayang dan kasihan bila engkau akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekirannya mereka tidak beriman kepada keterangan ini(al-Qur’an). Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus”

            Ayat-ayat surah al-Kahf ini bermaksud menjelaskan bahwa tujuan pengutusan para rasul bukanlah untuk menjadikan semua manusia beriman. Sebagaiman diingankan oleh setiap penganut agama. Tetapi, tujuannya adalah ujian dan cobaan sehingga dapat terbukti siapa yang lebih baik amalnya karena, pada akhirnya, dunia akan binasa dan tidak akan bertahan kecuali tanah rata dan tandus yang terbebaskan dari mereka yang enggan beriman itu sehingga tidak pada tempatnya bersedih hati, tidak juga hal itu membatalkan kekuasaan Allah atau membatasi kehendak-Nya. Demikian uraian Thabathabai ketika menafsirkan ayat ini.
            Firman-Nya: disebabkan sebagian dosa-dosa mereka mengandung makna bahwa sebagian dosa mereka yang lain Allah abaikan karena memang rahmatNya sedemikian luas, dan pengampuanan-Nya sedemikian besar, sehingga sebagian dosa manusia diampuni sesuai firman-Nya : “Dia member maaf terhadap banyak dari mereka” (QS. asy-Syura [42]: 34).


AYAT 50

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan siapakah yang lebih baik daripada Allah dalam menetapkan hukum bagi kaum yang yakin?”

            Selanjutnya, karena yang ada hanya hukum Allah serta hukum yang bertentangan dengannya, dan hukum yang bertentangan dengannya adalah hukum yang dinamai hukum jahiliah, ayat ini mengecam mereka dalam bentuk pertanyaan: Apakah hukum jahiliah, yakni hukum yang didasarkan oleh hawa nafsu, kepentingan sementara, serta kepicikan pandangan yang mereka kehendaki dan, jika demikian, siapakah yang lebih sesat daripada mereka? Selanjutnya, karena kesempurnaan serta baiknya suatu hukum adalah akibat kesempurnaan pembuatnya, sedang Allah adalah Wujud yang paling baik serta sempurna, jika demikian siapakah yang paling sempurna dan siapakah yang lebih baik daripada Allah Yang Maha Mengetahui itu dalam menetapkan hukum dan dalam hal-hal yang lain bagi kaum yang yakin, yakni yang ingin mantap kepercayaannya?Tidak ada!

            Ketika menafsirkan QS. al-Baqarah [2]:3 tentang arti kata yuqinuun, penulis mengemukakan bahwa kata yuqinuun atau yaqin adalah pengetahuan yang mantap tentang sesuatu disertai dengan tersingkirnya sesuatu yang mengeruhkan pengetahuan itu, baik berupa keraguan maupun dalih-dalih yang dikemukakan lawan. Itu sebabnya pengetahuan Allah tidak dinamai mencapai tingkat yakin karena pengetahuan Yang Maha Mengetahui itu sedemikian jelas sehingga tidak pernah sesaat atau sedikit pun disentuh oleh keraguan. Berbeda dengan manusia yang “yakin”, sebelum tiba keyakinannya, ia terlebih dahulu disentuh oleh keraguan. Namun, begitu ia sampai pada tahap yakin, keraguan yang tadinya ada langsung sirna. Seseorang yang ingin mencapai tahap keyakinan harus berusaha menghilangkan setiap kerancuan yang menyelinap ke dalam benak, dan hatinya. Ini ditempuh dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah, mempelajari hukum-hukum yang ditetapkan-Nya serta mengamalkannya. “Siapa yang mengamalkan apa yang diketahuinya, Allah akan mewariskan kepadanya pengetahuan yang belum diketahuinya.” Demikan sabda Nabi saw., dan pengatahuan yang terakhir ini mengantara ia sampai kepada keyakinan, dan ini pada gilirannya mengantar ia dengan mantap berkata bahwa tidak ada yang lebih baik dari pada Allah dalam menetapkan hukum.


Wallahu 'Alam..