Sabtu, 26 November 2016

Tafsir Al-Mishbah Surah Al-Maidah Ayat 49-50

Tulisan ini penulis kutip dari kitab Tafsir Al-Mishbah karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA 
mudah-mudahan bisa menjadi referensi tambahan dari kitab-kitab Tafsir lainnya...

kitab tafsir al-mishbah - volume 3 (tafsir surah al-maidah & surah al-anam)


AYAT 49

“Dan hendaklah engkau memutuskan(perkara) di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah hendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya banyak dari manusia adalah orang-orang yang benar-benar fasik “

Sekali lagi, melalui ayat ini, Allah mengulangi perintah-Nya menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan-Nya, yang telah diperintahkanNya pada ayat lalu. Agaknya, perintah pada ayat lalu adalah sebagai konsekuensi turunnya petunjuk Ilahi, dan perintah pada ayat ini adalah karena apa yang diturunkan itu merupakan kemaslahatan manusia. Perintah ini perlu ditekankan karena orang-orang Yahudi dan yang semacam mereka tidak henti-hentinya berupaya menarik hati kaum muslimin dengan berbagai cara. Apalagi dalam ayat lalu ditegaskan bahwa, bagi masing-masing umat, Allah telah berikan aturan dan jalan yang terang. Penegasan ini dapat mengesankan bahwa hingga saat datangnya Nabi Muhammad saw., mereka masih berada dalam kebenaran, dan ajaran yang dibawah oleh Nabi Muhammad saw. tidak berlaku umum. Nah, untuk menghilangkan kesan itu, perintah tersebut diulangi, yakni: Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka, yakni Ahl al-Kitab dan lain-lain, menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka karena hawa nafsu mengantar mereka menjadikan agama sebagai alat mencapai tujuan. Maka, camkanlah perintah ini. Dan berhati-hatilah terhadap ulah serta tipu daya mereka supaya mereka tidak memalingkanmu walaupun hanya dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling dari hukum yang telah diturunkan Allah yang pada hakikatnya sesuai dengan kemaslahatan mereka sendiri, bahkan sejalan dengan kandungan kitab suci mereka sendiri, bahkan sejalan dengan kandungan kitab suci mereka, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah hendak menimpakan musibah yakni siksa kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka, antara lain keengganan mereka mengikuti apa yang diturunkan Allah itu. Dan sesungguhnya banyak dari manusia adalah orang-orang yang benar-benar fasik.
Firman-Nya:  Supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu menekankan kewajiban berpegang teguh terhadap apa yang diturunkan Allah secara utuh dan tidak mengabaikannya walau sedikit pun. Di sisi lain, hal ini mengisyaratkan bahwa lawan-lawan umat Islam akan senantiasa berusaha memalingkan umat Islam dari ajaran Islam, walau hanya sebagian saja. Dengan meninggalkan sebagian ajarannya, keberagamaan umat Islam akan runtuh. Ini karena sel-sel ajaran Islam sedemikian terpadu, mengaitkan sesuatu yang terkecil sekalipun dengan Allah swt. –Wujud Yang Mahaagung. Lihatlah bagaimana al-Qur’an mengaitkan jatuhnya selembar daun kering dengan pengetahuan dan izin Allah swt. (baca QS. Al-An’am [6]:59). Perhatikan juga bagaimana Rasul saw. mengaitkan antara masuk ke WC dan permohonan perlindungan kepada Allah swt. Bila sebagian dari hal-hal kecil itu dilepaskan dari Allah swt., tidak mustahil bangunan Islam secara keseluruhan dapat runtuh.
Redaksi ayat ini tertuju kepada Rasul saw. Kalau terhadap beliau saja yang ma’shum(dipelihara Allah sehingga tidak akan terjerumus kedalam dosa) maka lebih-lebih umat beliau, yang sama sekali tidak ma’shum. Di sisi lain, ayat ini membuktikan bahwa adanya pemeliharaan Allah itu atau janji kemenangan dari-Nya tidak boleh menjadikan seseorang, betapa pun bertakwanya, untuk mengabaikan usaha dan ikhtiar menghadapi aneka godaan dan tantangan.
Firman-Nya: Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah hendak menimpakan musibah kepada mereka merupakan hiburan kepada Nabi saw. yang menghadapi keengganan orang-orang Yahudi dan Nasrani menerima ajakan beliau. Demikan itu semua tujuan ayat yang melarang beliau bersedih karena kengganan mereka beriman bukan karena kesalahan Nabi Muhammad, bukan juga kurangnya kesungguhan beliau berdakwah, tetapi karena memang Allah menghendaki demikian berdasar kebijaksanaanNya untuk tidak memaksa seseorang memeluk agama, bahkan membiarkan siapa yang enggan beriman larut dalam kedurhakaannya. Itulah yang dimaksud kehendak Allah. Selanjutnya, kata ketahuilah pada penggalan ayat di atas agaknya sengaja dicantumkan untuk mengisyaratkan bahwa penyampaian hakikat itu adalah sebagai pengajaran kepada Nabi Muhammad saw. dan siapa pun tentang “kendak Allah” dalam pengertian di atas sehingga, karena hal itu merupakan kehendak-Nya, tidak wajar keengganan mereka beriman melahirkan kesedihan. Bukankah itu kehendak-Nya juga? Bukankah kalau Dia menghendaki segalanya dapat terjadi? Bukankah tak satu pun yang dapat mengalahkan kehendak-Nya? Firman-Nya dalam QS. al-Kahf [18]: 6-8 menjelaskan hakikat tersebut secara lebih gamblang. Di sana ditegaskan-Nya bahwa:

Maka sungguh sayang dan kasihan bila engkau akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekirannya mereka tidak beriman kepada keterangan ini(al-Qur’an). Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus”

            Ayat-ayat surah al-Kahf ini bermaksud menjelaskan bahwa tujuan pengutusan para rasul bukanlah untuk menjadikan semua manusia beriman. Sebagaiman diingankan oleh setiap penganut agama. Tetapi, tujuannya adalah ujian dan cobaan sehingga dapat terbukti siapa yang lebih baik amalnya karena, pada akhirnya, dunia akan binasa dan tidak akan bertahan kecuali tanah rata dan tandus yang terbebaskan dari mereka yang enggan beriman itu sehingga tidak pada tempatnya bersedih hati, tidak juga hal itu membatalkan kekuasaan Allah atau membatasi kehendak-Nya. Demikian uraian Thabathabai ketika menafsirkan ayat ini.
            Firman-Nya: disebabkan sebagian dosa-dosa mereka mengandung makna bahwa sebagian dosa mereka yang lain Allah abaikan karena memang rahmatNya sedemikian luas, dan pengampuanan-Nya sedemikian besar, sehingga sebagian dosa manusia diampuni sesuai firman-Nya : “Dia member maaf terhadap banyak dari mereka” (QS. asy-Syura [42]: 34).


AYAT 50

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan siapakah yang lebih baik daripada Allah dalam menetapkan hukum bagi kaum yang yakin?”

            Selanjutnya, karena yang ada hanya hukum Allah serta hukum yang bertentangan dengannya, dan hukum yang bertentangan dengannya adalah hukum yang dinamai hukum jahiliah, ayat ini mengecam mereka dalam bentuk pertanyaan: Apakah hukum jahiliah, yakni hukum yang didasarkan oleh hawa nafsu, kepentingan sementara, serta kepicikan pandangan yang mereka kehendaki dan, jika demikian, siapakah yang lebih sesat daripada mereka? Selanjutnya, karena kesempurnaan serta baiknya suatu hukum adalah akibat kesempurnaan pembuatnya, sedang Allah adalah Wujud yang paling baik serta sempurna, jika demikian siapakah yang paling sempurna dan siapakah yang lebih baik daripada Allah Yang Maha Mengetahui itu dalam menetapkan hukum dan dalam hal-hal yang lain bagi kaum yang yakin, yakni yang ingin mantap kepercayaannya?Tidak ada!

            Ketika menafsirkan QS. al-Baqarah [2]:3 tentang arti kata yuqinuun, penulis mengemukakan bahwa kata yuqinuun atau yaqin adalah pengetahuan yang mantap tentang sesuatu disertai dengan tersingkirnya sesuatu yang mengeruhkan pengetahuan itu, baik berupa keraguan maupun dalih-dalih yang dikemukakan lawan. Itu sebabnya pengetahuan Allah tidak dinamai mencapai tingkat yakin karena pengetahuan Yang Maha Mengetahui itu sedemikian jelas sehingga tidak pernah sesaat atau sedikit pun disentuh oleh keraguan. Berbeda dengan manusia yang “yakin”, sebelum tiba keyakinannya, ia terlebih dahulu disentuh oleh keraguan. Namun, begitu ia sampai pada tahap yakin, keraguan yang tadinya ada langsung sirna. Seseorang yang ingin mencapai tahap keyakinan harus berusaha menghilangkan setiap kerancuan yang menyelinap ke dalam benak, dan hatinya. Ini ditempuh dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah, mempelajari hukum-hukum yang ditetapkan-Nya serta mengamalkannya. “Siapa yang mengamalkan apa yang diketahuinya, Allah akan mewariskan kepadanya pengetahuan yang belum diketahuinya.” Demikan sabda Nabi saw., dan pengatahuan yang terakhir ini mengantara ia sampai kepada keyakinan, dan ini pada gilirannya mengantar ia dengan mantap berkata bahwa tidak ada yang lebih baik dari pada Allah dalam menetapkan hukum.


Wallahu 'Alam..

1 komentar:

mari bersedekah ilmu..mari memberikan tanggapan..