Tulisan ini penulis kutip dari kitab Tafsir Al-Mishbah karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA
mudah-mudahan bisa menjadi referensi tambahan dari kitab-kitab Tafsir lainnya...
kitab tafsir al-mishbah - volume 3 (tafsir surah al-maidah & surah al-anam) |
AYAT 49
“Dan hendaklah
engkau memutuskan(perkara) di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah,
dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah terhadap
mereka supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah hendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian
dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya banyak dari manusia adalah orang-orang yang
benar-benar fasik “
Sekali lagi, melalui ayat
ini, Allah mengulangi perintah-Nya menetapkan hukum sesuai dengan apa yang
diturunkan-Nya, yang telah diperintahkanNya pada ayat lalu. Agaknya, perintah
pada ayat lalu adalah sebagai konsekuensi turunnya petunjuk Ilahi, dan perintah
pada ayat ini adalah karena apa yang diturunkan itu merupakan kemaslahatan
manusia. Perintah ini perlu ditekankan karena orang-orang Yahudi dan yang
semacam mereka tidak henti-hentinya berupaya menarik hati kaum muslimin dengan
berbagai cara. Apalagi dalam ayat lalu ditegaskan bahwa, bagi masing-masing
umat, Allah telah berikan aturan dan jalan yang terang. Penegasan ini dapat
mengesankan bahwa hingga saat datangnya Nabi Muhammad saw., mereka masih berada
dalam kebenaran, dan ajaran yang dibawah oleh Nabi Muhammad saw. tidak berlaku
umum. Nah, untuk menghilangkan kesan itu, perintah tersebut diulangi, yakni: Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka, yakni Ahl al-Kitab dan
lain-lain, menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka karena hawa nafsu
mengantar mereka menjadikan agama sebagai alat mencapai tujuan. Maka, camkanlah
perintah ini. Dan berhati-hatilah
terhadap ulah serta tipu daya mereka
supaya mereka tidak memalingkanmu walaupun hanya dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka
berpaling dari hukum yang telah diturunkan Allah yang pada hakikatnya
sesuai dengan kemaslahatan mereka sendiri, bahkan sejalan dengan kandungan
kitab suci mereka sendiri, bahkan sejalan dengan kandungan kitab suci mereka, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
hendak menimpakan musibah yakni siksa kepada
mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka, antara lain keengganan mereka
mengikuti apa yang diturunkan Allah itu. Dan
sesungguhnya banyak dari manusia adalah orang-orang yang benar-benar fasik.
Firman-Nya: Supaya
mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu menekankan kewajiban berpegang teguh terhadap apa yang diturunkan
Allah secara utuh dan tidak mengabaikannya walau sedikit pun. Di sisi lain, hal
ini mengisyaratkan bahwa lawan-lawan umat Islam akan senantiasa berusaha
memalingkan umat Islam dari ajaran Islam, walau hanya sebagian saja. Dengan
meninggalkan sebagian ajarannya, keberagamaan umat Islam akan runtuh. Ini
karena sel-sel ajaran Islam sedemikian terpadu, mengaitkan sesuatu yang
terkecil sekalipun dengan Allah swt. –Wujud Yang Mahaagung. Lihatlah bagaimana
al-Qur’an mengaitkan jatuhnya selembar daun kering dengan pengetahuan dan izin
Allah swt. (baca QS. Al-An’am [6]:59). Perhatikan juga bagaimana Rasul saw.
mengaitkan antara masuk ke WC dan permohonan perlindungan kepada Allah swt.
Bila sebagian dari hal-hal kecil itu dilepaskan dari Allah swt., tidak mustahil
bangunan Islam secara keseluruhan dapat runtuh.
Redaksi ayat ini tertuju
kepada Rasul saw. Kalau terhadap beliau saja yang ma’shum(dipelihara Allah sehingga tidak akan terjerumus kedalam
dosa) maka lebih-lebih umat beliau, yang sama sekali tidak ma’shum. Di sisi lain, ayat ini membuktikan bahwa adanya
pemeliharaan Allah itu atau janji kemenangan dari-Nya tidak boleh menjadikan
seseorang, betapa pun bertakwanya, untuk mengabaikan usaha dan ikhtiar
menghadapi aneka godaan dan tantangan.
Firman-Nya: Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
hendak menimpakan musibah kepada mereka merupakan hiburan kepada Nabi saw.
yang menghadapi keengganan orang-orang Yahudi dan Nasrani menerima ajakan
beliau. Demikan itu semua tujuan ayat yang melarang beliau bersedih karena
kengganan mereka beriman bukan karena kesalahan Nabi Muhammad, bukan juga
kurangnya kesungguhan beliau berdakwah, tetapi karena memang Allah menghendaki
demikian berdasar kebijaksanaanNya untuk tidak memaksa seseorang memeluk agama,
bahkan membiarkan siapa yang enggan beriman larut dalam kedurhakaannya. Itulah
yang dimaksud kehendak Allah. Selanjutnya, kata ketahuilah pada penggalan ayat di atas agaknya sengaja dicantumkan
untuk mengisyaratkan bahwa penyampaian hakikat itu adalah sebagai pengajaran
kepada Nabi Muhammad saw. dan siapa pun tentang “kendak Allah” dalam pengertian
di atas sehingga, karena hal itu merupakan kehendak-Nya, tidak wajar keengganan
mereka beriman melahirkan kesedihan. Bukankah itu kehendak-Nya juga? Bukankah
kalau Dia menghendaki segalanya dapat terjadi? Bukankah tak satu pun yang dapat
mengalahkan kehendak-Nya? Firman-Nya dalam QS. al-Kahf [18]: 6-8 menjelaskan
hakikat tersebut secara lebih gamblang. Di sana ditegaskan-Nya bahwa:
“Maka sungguh
sayang dan kasihan bila engkau akan membunuh dirimu karena bersedih hati
sesudah mereka berpaling, sekirannya mereka tidak beriman kepada keterangan
ini(al-Qur’an). Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai
perhiasan baginya agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang
terbaik perbuatannya. Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula)
apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus”
Ayat-ayat
surah al-Kahf ini bermaksud menjelaskan bahwa tujuan pengutusan para rasul
bukanlah untuk menjadikan semua manusia beriman. Sebagaiman diingankan oleh
setiap penganut agama. Tetapi, tujuannya adalah ujian dan cobaan sehingga dapat
terbukti siapa yang lebih baik amalnya karena, pada akhirnya, dunia akan binasa
dan tidak akan bertahan kecuali tanah rata dan tandus yang terbebaskan dari
mereka yang enggan beriman itu sehingga tidak pada tempatnya bersedih hati,
tidak juga hal itu membatalkan kekuasaan Allah atau membatasi kehendak-Nya.
Demikian uraian Thabathabai ketika menafsirkan ayat ini.
Firman-Nya:
disebabkan sebagian dosa-dosa mereka
mengandung makna bahwa sebagian dosa mereka yang lain Allah abaikan karena
memang rahmatNya sedemikian luas, dan pengampuanan-Nya sedemikian besar,
sehingga sebagian dosa manusia diampuni sesuai firman-Nya : “Dia member maaf terhadap banyak dari
mereka” (QS. asy-Syura [42]: 34).
AYAT 50
“Apakah hukum
jahiliah yang mereka kehendaki, dan siapakah yang lebih baik daripada Allah
dalam menetapkan hukum bagi kaum yang yakin?”
Selanjutnya,
karena yang ada hanya hukum Allah serta hukum yang bertentangan dengannya, dan
hukum yang bertentangan dengannya adalah hukum yang dinamai hukum jahiliah,
ayat ini mengecam mereka dalam bentuk pertanyaan: Apakah hukum jahiliah, yakni hukum yang didasarkan oleh hawa nafsu,
kepentingan sementara, serta kepicikan pandangan yang mereka kehendaki dan, jika demikian, siapakah yang lebih sesat
daripada mereka? Selanjutnya, karena kesempurnaan serta baiknya suatu hukum
adalah akibat kesempurnaan pembuatnya, sedang Allah adalah Wujud yang paling
baik serta sempurna, jika demikian siapakah yang paling sempurna dan siapakah yang lebih baik daripada Allah
Yang Maha Mengetahui itu dalam menetapkan
hukum dan dalam hal-hal yang lain
bagi kaum yang yakin, yakni yang ingin mantap kepercayaannya?Tidak ada!
Ketika
menafsirkan QS. al-Baqarah [2]:3 tentang arti kata yuqinuun, penulis mengemukakan bahwa kata yuqinuun atau yaqin
adalah pengetahuan yang mantap tentang sesuatu disertai dengan tersingkirnya
sesuatu yang mengeruhkan pengetahuan itu, baik berupa keraguan maupun
dalih-dalih yang dikemukakan lawan. Itu sebabnya pengetahuan Allah tidak
dinamai mencapai tingkat yakin karena pengetahuan Yang Maha Mengetahui itu
sedemikian jelas sehingga tidak pernah sesaat atau sedikit pun disentuh oleh
keraguan. Berbeda dengan manusia yang “yakin”, sebelum tiba keyakinannya, ia
terlebih dahulu disentuh oleh keraguan. Namun, begitu ia sampai pada tahap
yakin, keraguan yang tadinya ada langsung sirna. Seseorang yang ingin mencapai
tahap keyakinan harus berusaha menghilangkan setiap kerancuan yang menyelinap
ke dalam benak, dan hatinya. Ini ditempuh dengan jalan mendekatkan diri kepada
Allah, mempelajari hukum-hukum yang ditetapkan-Nya serta mengamalkannya. “Siapa
yang mengamalkan apa yang diketahuinya, Allah akan mewariskan kepadanya
pengetahuan yang belum diketahuinya.” Demikan sabda Nabi saw., dan pengatahuan
yang terakhir ini mengantara ia sampai kepada keyakinan, dan ini pada
gilirannya mengantar ia dengan mantap berkata bahwa tidak ada yang lebih baik
dari pada Allah dalam menetapkan hukum.
Wallahu 'Alam..
pas mantab
BalasHapus