Tulisan ini penulis kutip dari kitab Tafsir Al-Azhar karya Prof. Dr. HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah)
“Dan
bahwa hendaklahengkau menghukum di antara mereka itu dengan apa yang telah
diturunkan oleh Allah, dan janganlah engkau turuti hawa nafsu mereka, agar
jangan sampai mereka fitnahi engkau dari setengah apa yang diturunkan Allah
kepada engkau.”
[pangkal ayat 49]
Menurut riwayat yang dikeluatrakn
oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu jabir dan Ibnu Abi Hatim dan al-Baihaqi di dalam Dalaailun Nubuwwah dari Ibnu Abbas bahwa
beberapa orang pemuka Yahudi, yaitu Ka’ab bin Asad, dan Abdullah bin Shuriya,
dan Syaas bin Qais pernah bermufakat hendak menemui Nabi Muhammad saw. dengan
maksud memfitnahi beliau dalam agamanya. Mereka datanglah menemui beliau, lalu
berkata, “Ya Muhammad, engkau sudah tahu bahwa kami-kami ini adalah
pendeta-pendeta Yahudi, lagi mulia dan berpengaruh dalam kalangan mereka. Kalau
kami menuruti engkau, maka seluruh Yahudi akan menuruti jejak kami, dan tidak
seorang yang aka membantah. Tetapi di antara kami sekarang ini ada perselisihan
dengan kaum kami. Maka kalau suka menjatuhkan hukum yang memenangkan kami dan
mengalahkan mereka, kami akan segera beriman dan membenarkan engkau.” Dengan
keras Nabi saw. telah menolak saran itu. Demikian bunyi riwayat sebab turun
ayat ini.
Nabi Muhammad saw. tidak mau
menerima usul itu. Masakan beliau mau mengubah kebenaran lantaran mengharapkan
mereka masuk Islam? Apa gunanya masuk Islam dengan menempuh jalan yang salah?
Niscaya Rasulullah memeriksa terlebih dahulu perselisihan dan dendam kesumat
itu dengan saksama; kalau mereka mengaku hendak masuk itu ternyata di pihak
yang salah, adakah beliau membela yang salah? Ayat ini pun datanglah membela
pendirian beliau dan memperteguh tegak beliau. Perbuatan orang-orang itu
bukanlah menghasilkan yang baik, melainkan menimbulkan fitnah yang lebih
berakibat buruk.
Tentu saja mereka akan berpaling,
tidak jadi masuk Islam karena permintaan mereka itu ditolak keras. Maka
datanglah terusan ayat, “Maka sekirannya
mereka berpaling, ketahuilah oleh engkau, bahwa Allah tidaklah mau, melainkan
menyiksa mereka dengan setengah dari dosa-dosa mereka.” Kalau permintaan
mereka tidak dikabulkan, mereka akan berpaling. Sebab niat mereka itu nyatalah
jahat adanya. Mereka pasti akan ditimpa Allah dengan siksaan batin yang hebat
sekali karena dosa-dosa mereka yang semacam itu.
Orang-orang semacam itu memang orang
yang telah rusak budi mereka. Mereka telah berani memutar hukum, lari dari
Taurat kepada hukum Al-Quran karena mengharap mencari yang lebih ringan, sebab
sudah terlalu banyak memakan uang suap. Sekarang mereka berani mengemukakan
tawaran mau masuk Islam, asal dalam perselisihan mereka sama mereka, pihak mereka
dimenangkan. Apa harganya orang seperti ini masuk Islam? Biarkan mereka
berpaling. Biarkan mereka melanjutkan langkah mereka, karena kesudahan dari
langkah demikian tidak lain dari kehinaan diri mereka sendiri, kerusajan akhlak
luar biasa. Biarkan mereka melanjutkan langkah mereka mempermainkan agama untuk
kepentingan diri sendiri. Orang yang begini tidak akan berubah, melainkan akhir
kelaknya akan menerima kontan balasan langkah mereka,
“
Dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia adalah sungguh-sungguh fasik.”
[ujung ayat 49]
Memanglah
banyak manusia yang seperti ini kerusakan jiwa mereka, telah mudah saja
mencakapkan yang tidak-tidak, karena jiwa yang telah fasik. Orang-orang yang
seperti ini apa guna diterima dalam Islam. Padahal Islam hendaklah ditegakkan
di atas budi yang mulia dan luhur, ketaatan kepada Allah dan takwa, dan
menegakkan keadilan dan kebenaran.
“Apakah
hukum secara jahiliyah yang mereka ingini? Padahal siapakah yang lebih baik
daripada Allah hukum-Nya? Bagi kaum yang berkeyakinan?”
[ayat 50]
Hukum jahiliyah ialah apa yang di
zaman sekarang disebut Hukum Rimba yaitu memenagkan yang salah dan mengalahkan
yang benar. Bukan berdasar atas keadilan, tetapi atas kekuatan. Siapa yang kuat
dialah yang dibenarkan, walaupun dia salah. Yang lemah dikalahkan, biarpun di
pihak yang benar. Pengaruh karena ketinggian kedudukan, karena dia pemuka
agama, karena dia bangsawan, karena dia berpangkat tinggi, karena dia disegani,
semuanya menjadi fakta utama di dalam mempertimbangkan hukum. Sebab itu di
zaman jahiliyah tidaklah ada perlindungan yang kuat atas yang lemah. Itu
sebabnya maka kerap terjadi perang kabilah, perang suku. Pemuka-pemuka Yahudi
itu mau masuk Islam, asal mereka dimenagkan. Apakah itu yang mereka maui dari
Islam? Astagfirullah! Apakah untuk
mereka mau masuk Islam? Subhanallah! Yang ditegakkan Rasulullah ialah
hukum Allah, hukum keadilan, membenarkan yang benar, menyalahlan yang salah,
walaupun fitnah apa yang akan diterima lantaran mempertahankan kebenaran Allah
itu. Karena hukum Allah itulah yang benar, dan itulah pokok sekalian hukum. Ini
hanya dapat dirasakan oleh kaum yang mempunyai keyakinan, yaitu kaum yang
beriman.
Perhatikanlah sekali lagi! Ayat ini
berupa pertanyaan, “Apakah dengan hukum
secara jahiliyah yang mereka ingini?” Berupa pertanyaan yang disebut Tanya
bantahan(istifham inkari) Artinya
bahwa isi ayat mengandung keheranan mengapa mereka mengakui diri beragama
Islam, mengikuti Islam, mengikuti Nabi Muhammad saw., padahal mereka masih
menghendaki hukum jahiliyah? Tidakkah ini terlalu? Apakah ini masuk akal?
Apakah artinya jadi orang Islam, kalau shalat menurut Allah tetapi hukumnya
bergantung kepada jahiliyah? Dan boleh ditambah dengan banyak pertanyaan lagi!
Semuanya bantahan!
Allah! Allah! Teringat kita kepada
penafsiran Hudzaifah bin al-Yaman dan Ibnu Abbas di atas tadi. Apakah segala
yang manis-manis hanya khusu buat kita dan yang pahit-pahit buat Ahlul Kiyab.
Buat Bani Israil? Bukanlah dengan teguran ayat ini pun kadang-kadang bertemu
pada kita kaum Muslimin sendiri?
Kembali pada hukum jahiliyah, bila
kehendak Al-Quran berlawanan dengan hawa nafsu?
Di sinilah terasa beratnya memikul
tugas menjadi ulama dalam Islam. Yakni di samping memperdalam pengetahuan
tentang hakikat hukum, memperluas ijtihad, hendaklah pula ulama kita meniru
meneladan ulama pelopor zaman dahulu itu, sebagai Imam Malik, Abu Hanifaf,
asy-Syafi’I, dan Ahmad bin Hambal, dan lain-lain, yaitu keteguhan pribadi dan
kekuatan iman, sehingga di dalam menegakkan hukum mereka itu tidak dapat
dipengaruhi oleh harta benda, dan tidak sampai mereka mengubah-ubah makna dan
maksud ayat, karena tenggang-menenggang atau ketakutan; walaupun untuk itu
diri-diri beliau kerap kali menderita.
Itulah ulama Islam, bukan ulama
Yahudi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mari bersedekah ilmu..mari memberikan tanggapan..