Selasa, 13 Desember 2016

Tafsir Al-Azhar Surah Al Maidah 49-50

Tulisan ini penulis kutip dari kitab Tafsir Al-Azhar karya Prof. Dr. HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) 
mudah-mudahan bisa menjadi referensi tambahan dari kitab-kitab Tafsir lainnya



“Dan bahwa hendaklahengkau menghukum di antara mereka itu dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, dan janganlah engkau turuti hawa nafsu mereka, agar jangan sampai mereka fitnahi engkau dari setengah apa yang diturunkan Allah kepada engkau.”
[pangkal ayat 49]

            Menurut riwayat yang dikeluatrakn oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu jabir dan Ibnu Abi Hatim dan al-Baihaqi di dalam Dalaailun Nubuwwah dari Ibnu Abbas bahwa beberapa orang pemuka Yahudi, yaitu Ka’ab bin Asad, dan Abdullah bin Shuriya, dan Syaas bin Qais pernah bermufakat hendak menemui Nabi Muhammad saw. dengan maksud memfitnahi beliau dalam agamanya. Mereka datanglah menemui beliau, lalu berkata, “Ya Muhammad, engkau sudah tahu bahwa kami-kami ini adalah pendeta-pendeta Yahudi, lagi mulia dan berpengaruh dalam kalangan mereka. Kalau kami menuruti engkau, maka seluruh Yahudi akan menuruti jejak kami, dan tidak seorang yang aka membantah. Tetapi di antara kami sekarang ini ada perselisihan dengan kaum kami. Maka kalau suka menjatuhkan hukum yang memenangkan kami dan mengalahkan mereka, kami akan segera beriman dan membenarkan engkau.” Dengan keras Nabi saw. telah menolak saran itu. Demikian bunyi riwayat sebab turun ayat ini.
            Nabi Muhammad saw. tidak mau menerima usul itu. Masakan beliau mau mengubah kebenaran lantaran mengharapkan mereka masuk Islam? Apa gunanya masuk Islam dengan menempuh jalan yang salah? Niscaya Rasulullah memeriksa terlebih dahulu perselisihan dan dendam kesumat itu dengan saksama; kalau mereka mengaku hendak masuk itu ternyata di pihak yang salah, adakah beliau membela yang salah? Ayat ini pun datanglah membela pendirian beliau dan memperteguh tegak beliau. Perbuatan orang-orang itu bukanlah menghasilkan yang baik, melainkan menimbulkan fitnah yang lebih berakibat buruk.
            Tentu saja mereka akan berpaling, tidak jadi masuk Islam karena permintaan mereka itu ditolak keras. Maka datanglah terusan ayat, “Maka sekirannya mereka berpaling, ketahuilah oleh engkau, bahwa Allah tidaklah mau, melainkan menyiksa mereka dengan setengah dari dosa-dosa mereka.” Kalau permintaan mereka tidak dikabulkan, mereka akan berpaling. Sebab niat mereka itu nyatalah jahat adanya. Mereka pasti akan ditimpa Allah dengan siksaan batin yang hebat sekali karena dosa-dosa mereka yang semacam itu.
            Orang-orang semacam itu memang orang yang telah rusak budi mereka. Mereka telah berani memutar hukum, lari dari Taurat kepada hukum Al-Quran karena mengharap mencari yang lebih ringan, sebab sudah terlalu banyak memakan uang suap. Sekarang mereka berani mengemukakan tawaran mau masuk Islam, asal dalam perselisihan mereka sama mereka, pihak mereka dimenangkan. Apa harganya orang seperti ini masuk Islam? Biarkan mereka berpaling. Biarkan mereka melanjutkan langkah mereka, karena kesudahan dari langkah demikian tidak lain dari kehinaan diri mereka sendiri, kerusajan akhlak luar biasa. Biarkan mereka melanjutkan langkah mereka mempermainkan agama untuk kepentingan diri sendiri. Orang yang begini tidak akan berubah, melainkan akhir kelaknya akan menerima kontan balasan langkah mereka,

“ Dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia adalah sungguh-sungguh fasik.”
[ujung ayat 49]

            Memanglah banyak manusia yang seperti ini kerusakan jiwa mereka, telah mudah saja mencakapkan yang tidak-tidak, karena jiwa yang telah fasik. Orang-orang yang seperti ini apa guna diterima dalam Islam. Padahal Islam hendaklah ditegakkan di atas budi yang mulia dan luhur, ketaatan kepada Allah dan takwa, dan menegakkan keadilan dan kebenaran.
“Apakah hukum secara jahiliyah yang mereka ingini? Padahal siapakah yang lebih baik daripada Allah hukum-Nya? Bagi kaum yang berkeyakinan?”
[ayat 50]

            Hukum jahiliyah ialah apa yang di zaman sekarang disebut Hukum Rimba yaitu memenagkan yang salah dan mengalahkan yang benar. Bukan berdasar atas keadilan, tetapi atas kekuatan. Siapa yang kuat dialah yang dibenarkan, walaupun dia salah. Yang lemah dikalahkan, biarpun di pihak yang benar. Pengaruh karena ketinggian kedudukan, karena dia pemuka agama, karena dia bangsawan, karena dia berpangkat tinggi, karena dia disegani, semuanya menjadi fakta utama di dalam mempertimbangkan hukum. Sebab itu di zaman jahiliyah tidaklah ada perlindungan yang kuat atas yang lemah. Itu sebabnya maka kerap terjadi perang kabilah, perang suku. Pemuka-pemuka Yahudi itu mau masuk Islam, asal mereka dimenagkan. Apakah itu yang mereka maui dari Islam? Astagfirullah! Apakah untuk  mereka mau masuk Islam? Subhanallah! Yang ditegakkan Rasulullah ialah hukum Allah, hukum keadilan, membenarkan yang benar, menyalahlan yang salah, walaupun fitnah apa yang akan diterima lantaran mempertahankan kebenaran Allah itu. Karena hukum Allah itulah yang benar, dan itulah pokok sekalian hukum. Ini hanya dapat dirasakan oleh kaum yang mempunyai keyakinan, yaitu kaum yang beriman.
            Perhatikanlah sekali lagi! Ayat ini berupa pertanyaan, “Apakah dengan hukum secara jahiliyah yang mereka ingini?” Berupa pertanyaan yang disebut Tanya bantahan(istifham inkari) Artinya bahwa isi ayat mengandung keheranan mengapa mereka mengakui diri beragama Islam, mengikuti Islam, mengikuti Nabi Muhammad saw., padahal mereka masih menghendaki hukum jahiliyah? Tidakkah ini terlalu? Apakah ini masuk akal? Apakah artinya jadi orang Islam, kalau shalat menurut Allah tetapi hukumnya bergantung kepada jahiliyah? Dan boleh ditambah dengan banyak pertanyaan lagi! Semuanya bantahan!
            Allah! Allah! Teringat kita kepada penafsiran Hudzaifah bin al-Yaman dan Ibnu Abbas di atas tadi. Apakah segala yang manis-manis hanya khusu buat kita dan yang pahit-pahit buat Ahlul Kiyab. Buat Bani Israil? Bukanlah dengan teguran ayat ini pun kadang-kadang bertemu pada kita kaum Muslimin sendiri?
            Kembali pada hukum jahiliyah, bila kehendak Al-Quran berlawanan dengan hawa nafsu?
            Di sinilah terasa beratnya memikul tugas menjadi ulama dalam Islam. Yakni di samping memperdalam pengetahuan tentang hakikat hukum, memperluas ijtihad, hendaklah pula ulama kita meniru meneladan ulama pelopor zaman dahulu itu, sebagai Imam Malik, Abu Hanifaf, asy-Syafi’I, dan Ahmad bin Hambal, dan lain-lain, yaitu keteguhan pribadi dan kekuatan iman, sehingga di dalam menegakkan hukum mereka itu tidak dapat dipengaruhi oleh harta benda, dan tidak sampai mereka mengubah-ubah makna dan maksud ayat, karena tenggang-menenggang atau ketakutan; walaupun untuk itu diri-diri beliau kerap kali menderita.
            Itulah ulama Islam, bukan ulama Yahudi.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mari bersedekah ilmu..mari memberikan tanggapan..