Sabtu, 26 November 2016

Tafsir Al-Mishbah Surah Al-Maidah Ayat 51-52

Tulisan ini penulis kutip dari kitab Tafsir Al-Mishbah karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA 
mudah-mudahan bisa menjadi referensi tambahan dari kitab-kitab Tafsir lainnya...


AYAT 51-52

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliyaa’, sebagian mereka adalah auliyaa’ bagi sebagian yang lain. Barang siapa diantara kamu menjadikan mereka auliyaa’, maka sesungguhnya dia termasuk sebagian mereka. Sesungguuhnya Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Maka engkau akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya bersegera mendekati mereka seraya berkata: ‘Kami takut mendapat bencana.’ Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan atau suatu ketetapan dari sisi-Nya. Maka karena itu mereka menjadi orang-orang menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka”

Jika keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani—atau siapapun—seperti dilukiskan oleh ayat-ayat yang lalu, yakni lebih suka mengikuti hukum jahiliah dan mengabaikan hukum Allah, bahkan bermaksud memalingkan kaum muslimin dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah, maka  hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani serta siapa pun yang bersifat seperti sifat mereka yang dikecam ini, jangan mengambil mereka sebagai auliyaa’, yakni orang-orang dekat. Sifat mereka sama dalam kekufuran dan dalam kebencian kepada kamu. Karena itu wajar jika jika sebagian mereka adalah auliyaa’ yakni penolong bagi sebagian yang lain dalam menghadapi kamu karena kepentingan mereka dalam hal ini sama, walau agama dan keyakinan mereka satu sama lain berbeda.  Barang siapa di antara kamu menjadikan mereka yang memusuhi Islam itu sebagai auliyaa’, maka sesungguhnya dia termasuk sebagian  dari kelompok  mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk, yakni tidak menunjuki dan tidak mengantar, kepada orang-orang yang zalim menuju jalan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
Karena Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim, maka engkau, wahai Nabi Muhammad dan siapa pun yang mampu memerhatikan, akan melihat dengan mata kepala atau mata pikiran, orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya, baik karena kemunafikan maupun keraguan, bersegera  bagaikan berlomba dengan yang lain untuk mendekati mereka, yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani itu, seraya berkata dalam hati mereka, atau kepada orang lain, sebagai dalih menutupi kemunafikan atau sikap mereka bahwa: “Kami menjadikan mereka auliyaa’ karena kami amat takut mendapat bencana yang demikian besar yang meliputi kami akibat perubahan situasi sehingga, jika itu terjadi, pasti bencana itu akan menimpa kami tanpa dapat kami hindari.”
Jika demikan ucapan dan perilaku mereka, maka mudah-mudahan Allah Yang Mahaagung akan mendatangkan kemenangan melalui perjuangan orang-orang beriman sehingga musuh yang mereka takuti itu tidak berdaya, atau suatu ketetapan dari sisi-Nya, tanpa usaha sedikit pun dari kaum beriman. Maka, jika itu terjadi, akan terbuka kedok orang-orang munafik dan mereka, mereka menjadi orang-orang yang sangat menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka, yakni keinginan mereka menghambat ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.
Kata tattakhidzu/kamu mengambil terambil dari kata akhadza, yang pada umumnya diterjemahkan mengambil, tetapi dalam penggunaannya kata tersebut dapat mengandung banyak arti sesuai dengan kata atau huruf yang disebut sesudahnya. Misalnya, jika kata disebut sesudahnya—katakanlah—“buku”, maknanya “mengambil”; jika ”hadiah” atau “persembahan”, maknanya “menerima”; jika “keamanannya”, berarti “dibinasakan”. Kata ittakhadza dipahami dalam arti mengandalkan diri pada sesuatu untuk menghadapi sesuatu yang lain. Nah, jika demikian, apakah ayat tersebut melarang seorang Muslim mengandalkan non-Muslim? Tidak mutlak karena yang dilarang di sini adalah menjadikan mereka auliyaa’.
Dalam al-Quran dan terjemahan oleh Tim Departemen Agama, kata auliyaa’ diterjemahkan dengan pemimpin-pemimpin. Sebenarnya, menerjemahkan demikian tidak sepenuhnya tepat. Kata auliyaa’ adalah bentuk jamak dari kata waliy. Kata ini terambil dari akar kata yang terdiri huruf-huruf wauw, lam, dan ya’ yang makna dasarnya adalah dekat. Dari sini kemudian berkembang makna-makna baru, seperti pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama, dan lain-lain yang kesemuanya diikat oleh benang merah kedekatan. Itu sebabnya Ayah adalah orang paling utama yang menjadi waliy anak perempuannya karena dia adalah yang terdekat kepadanya. Orang yang amat taat tekun beribadah dinamai waliy karena dia dekat kepada Allah. Seorang yang bersahabat denga orang lain sehingga mereka selalu bersama dan saling menyampaikan rahasia karena kedekatan mereka juga dapat dinamai waliy. Demikian juga pemimpin karena dia seharusnya dekat dengan yang dipimpinnya. Demikian dekatnya sehingga dialah yang pertama mendengar panggilan bahkan keluhan dan bisikan siapa yang dipimpinnya, dan karena kedekatannya itu dia pula yang pertama dating membantunya. Demikan terlihat bahwa semua makna yang dikemukakan di atas dapat dicakup oleh kaya auliyaa’.
Dengan memahami kata yang dibahas ini dalam arti kedekatan cinta kasih, bertemulah ayat diatas dengan firman-Nya dalam QS. al-Mumtahanah [60]:1 :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuh kamu sebagai auliyaa’, kamu menyampaikan kepada mereka (berita-berita Nabi Muhammad) karena rasa cinta kasih; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu.” Mereka itu pada akhirnya oleh surah al-Mumtahamah ini disifati dengan orang-orang zalim. “Dan barang siapa menjadikan mereka auliyaa’, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS. al-Mumtahamah [60]:9), sama dengan sifat yang disebut oleh surah al-Maidah [5]: 51 : ”Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
            Larangan menjadikan non-Muslim sebagai auliyaa’ yang disebutkan ayat di atas, dikemukakan dengan sekian pengukuhan. Antara lain: 1) pada larangan tegas yang menyatakan janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin. 2) Penegasan bahwa sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. 3) Ancaman bagi yang mengangkat mereka sebagai pemimpin bahwa ia termasuk golongan mereka serta merupakan orang yang zalim.
            Kendati demikian, larangan tersebut tidaklah mutlak sehingga mencakup seluruh makna yang dikandung oleh kata auliyaa’.
            Muhammad Sayyid Thanthawi dalam tafsirnya mengemukakan bahwa non-Muslim dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, adalah mereka yang tinggal bersama kaum muslimin, dan hidup damai bersama mereka, tidak melakukan kegiatan untuk kepentingan lawan Islam serta tidak juga tampak dari mereka tanda-tanda yang mengantar kepada prasangka buruk terhadap mereka. Kelompok ini mempunyai hak dan kewajiban sosial yang sama dengan kaum muslimin. Tidak ada larangan untuk bersahabat dan berbuat baik kepada mereka, sebagai mana firman Allah:

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik/memberikan sebagian dari harta kamu dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. al-Mumtahanah [60]:8).

            Kedua, kelompok yang memerangi atau merugikan kaum muslimin dengan berbagai cara. Terhadap mereka tidak boleh dijalin hubungan harmonis, tidak boleh juga didekati. Merekalah yang dimaksud oleh ayat ini, demikian juga dengan ayat-ayat lain, seperti:

“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai teman-teman dekat kamu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu(orang lain) untuk mengusirmu” (QS. al-Mumtahanah [60]:9).

            Ketiga, kelompok yang tidak secara terang-terangan memusuhi kaum muslimin, tetapi ditemukan pada mereka sekian indicator yang menunjukkan bahwa mereka tidak bersimpati kepada kaum muslimin tetapi mereka bersimpati kepada musuh-musuh Islam. Terhadap mereka Allah memerintahkan kaum beriman agar bersikap hati-hati tanpa memusuhi mereka.
            Firman-Nya: Barang siapa di antara kamu menjadikan mereka auliyaa’, maka sesungguhnya dia termasuk sebagian mereka mengisyaratkan bahwa keimanan bertingkat-tingkat. Ada di antara orang-orang yang hidup bersama Rasul ketika itu yang keimanannya masih belum mantap, masih diselubungi oleh kekeruhan atau semacam keraguan. Mereka tidak harus merupakan orang-orang munafik yang menampakkan keimanan tetapi menyembunyikan kekufuran. Mereka tetap dinamai orang-orang yang beriman. Kendati demikian, keraguan yang masih terdapat dalam hati mereka, dan yang merupakan salah satu bentuk penyakit jiwa, itulah yang mengantar mereka mengambil sikap bersahabat sangat erat dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Keraguan itulah yang menjadikan mereka khawatir mendapat bencana. Mereka adalah sebagian dari yang dimaksud oleh ayat di atas dengan orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya.
            Firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim bukan berarti tidak menyampaikan kepada mereaka tuntunan agama, tetapi dalam arti mereka tidak diantar menuju jalan kebahagianan. Untuk jelasnya, bacalah kembali penafsiran ayat keenam surah al-Fatihah (ihdina ash-shirath al-mustaqim).
            Kata ‘asa bila pelakunya adalah Allah, seperti firman-Nya di atas, fa’asa Allah/mudah-mudahan Allah dipahami oleh banyak ulama sebagai isyarat tentang kepastian. Kata ‘asa/mudah-mudahan mengandung makna harapan, dan harapan, adalah sesuatu yang belum pasti. Ini bila pelaku kata ini makhluk. Tetapi, kalau pelakuknya adalah Allah, sifat Allah Yang Maha Mengetahui itu mengubah makna harapan tersebut menjadi kepastian. Penggunaan kata ‘asa/mudah-mudahan dalam ayat ini dan semacamnya merupakan pengajaran kepada umat Islam agar tidak memastikan sesuatu menyangkut masa depan. Ini sejalan dengan tuntunan-Nya:

“Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (mengaitkannya dengan) insyaAllah/jika dikehendaki Allah” (QS. Al-Kahf [18]:23).

            Kata fath/kemenangan dalam al-Quran pada umumnya menunjuk kepada peristiwa kemenangan Rasul saw. memasuki dan menguasai kota Mekkah, walau tidak semua kata fath bermakna demikian. Dalam ayat ini boleh jadi yang dimaksud adalah Fath Makkah, boleh jadi juga keberhasilan mengusir para Yahudi yang berkhianat dari kota Madinah, atau kemenangan umat terhadap musuh-musuh mereka kapan dan di mana pun.

Tafsir Al-Mishbah Surah Al-Maidah Ayat 49-50

Tulisan ini penulis kutip dari kitab Tafsir Al-Mishbah karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA 
mudah-mudahan bisa menjadi referensi tambahan dari kitab-kitab Tafsir lainnya...

kitab tafsir al-mishbah - volume 3 (tafsir surah al-maidah & surah al-anam)


AYAT 49

“Dan hendaklah engkau memutuskan(perkara) di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah hendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya banyak dari manusia adalah orang-orang yang benar-benar fasik “

Sekali lagi, melalui ayat ini, Allah mengulangi perintah-Nya menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan-Nya, yang telah diperintahkanNya pada ayat lalu. Agaknya, perintah pada ayat lalu adalah sebagai konsekuensi turunnya petunjuk Ilahi, dan perintah pada ayat ini adalah karena apa yang diturunkan itu merupakan kemaslahatan manusia. Perintah ini perlu ditekankan karena orang-orang Yahudi dan yang semacam mereka tidak henti-hentinya berupaya menarik hati kaum muslimin dengan berbagai cara. Apalagi dalam ayat lalu ditegaskan bahwa, bagi masing-masing umat, Allah telah berikan aturan dan jalan yang terang. Penegasan ini dapat mengesankan bahwa hingga saat datangnya Nabi Muhammad saw., mereka masih berada dalam kebenaran, dan ajaran yang dibawah oleh Nabi Muhammad saw. tidak berlaku umum. Nah, untuk menghilangkan kesan itu, perintah tersebut diulangi, yakni: Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka, yakni Ahl al-Kitab dan lain-lain, menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka karena hawa nafsu mengantar mereka menjadikan agama sebagai alat mencapai tujuan. Maka, camkanlah perintah ini. Dan berhati-hatilah terhadap ulah serta tipu daya mereka supaya mereka tidak memalingkanmu walaupun hanya dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling dari hukum yang telah diturunkan Allah yang pada hakikatnya sesuai dengan kemaslahatan mereka sendiri, bahkan sejalan dengan kandungan kitab suci mereka sendiri, bahkan sejalan dengan kandungan kitab suci mereka, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah hendak menimpakan musibah yakni siksa kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka, antara lain keengganan mereka mengikuti apa yang diturunkan Allah itu. Dan sesungguhnya banyak dari manusia adalah orang-orang yang benar-benar fasik.
Firman-Nya:  Supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu menekankan kewajiban berpegang teguh terhadap apa yang diturunkan Allah secara utuh dan tidak mengabaikannya walau sedikit pun. Di sisi lain, hal ini mengisyaratkan bahwa lawan-lawan umat Islam akan senantiasa berusaha memalingkan umat Islam dari ajaran Islam, walau hanya sebagian saja. Dengan meninggalkan sebagian ajarannya, keberagamaan umat Islam akan runtuh. Ini karena sel-sel ajaran Islam sedemikian terpadu, mengaitkan sesuatu yang terkecil sekalipun dengan Allah swt. –Wujud Yang Mahaagung. Lihatlah bagaimana al-Qur’an mengaitkan jatuhnya selembar daun kering dengan pengetahuan dan izin Allah swt. (baca QS. Al-An’am [6]:59). Perhatikan juga bagaimana Rasul saw. mengaitkan antara masuk ke WC dan permohonan perlindungan kepada Allah swt. Bila sebagian dari hal-hal kecil itu dilepaskan dari Allah swt., tidak mustahil bangunan Islam secara keseluruhan dapat runtuh.
Redaksi ayat ini tertuju kepada Rasul saw. Kalau terhadap beliau saja yang ma’shum(dipelihara Allah sehingga tidak akan terjerumus kedalam dosa) maka lebih-lebih umat beliau, yang sama sekali tidak ma’shum. Di sisi lain, ayat ini membuktikan bahwa adanya pemeliharaan Allah itu atau janji kemenangan dari-Nya tidak boleh menjadikan seseorang, betapa pun bertakwanya, untuk mengabaikan usaha dan ikhtiar menghadapi aneka godaan dan tantangan.
Firman-Nya: Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah hendak menimpakan musibah kepada mereka merupakan hiburan kepada Nabi saw. yang menghadapi keengganan orang-orang Yahudi dan Nasrani menerima ajakan beliau. Demikan itu semua tujuan ayat yang melarang beliau bersedih karena kengganan mereka beriman bukan karena kesalahan Nabi Muhammad, bukan juga kurangnya kesungguhan beliau berdakwah, tetapi karena memang Allah menghendaki demikian berdasar kebijaksanaanNya untuk tidak memaksa seseorang memeluk agama, bahkan membiarkan siapa yang enggan beriman larut dalam kedurhakaannya. Itulah yang dimaksud kehendak Allah. Selanjutnya, kata ketahuilah pada penggalan ayat di atas agaknya sengaja dicantumkan untuk mengisyaratkan bahwa penyampaian hakikat itu adalah sebagai pengajaran kepada Nabi Muhammad saw. dan siapa pun tentang “kendak Allah” dalam pengertian di atas sehingga, karena hal itu merupakan kehendak-Nya, tidak wajar keengganan mereka beriman melahirkan kesedihan. Bukankah itu kehendak-Nya juga? Bukankah kalau Dia menghendaki segalanya dapat terjadi? Bukankah tak satu pun yang dapat mengalahkan kehendak-Nya? Firman-Nya dalam QS. al-Kahf [18]: 6-8 menjelaskan hakikat tersebut secara lebih gamblang. Di sana ditegaskan-Nya bahwa:

Maka sungguh sayang dan kasihan bila engkau akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekirannya mereka tidak beriman kepada keterangan ini(al-Qur’an). Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus”

            Ayat-ayat surah al-Kahf ini bermaksud menjelaskan bahwa tujuan pengutusan para rasul bukanlah untuk menjadikan semua manusia beriman. Sebagaiman diingankan oleh setiap penganut agama. Tetapi, tujuannya adalah ujian dan cobaan sehingga dapat terbukti siapa yang lebih baik amalnya karena, pada akhirnya, dunia akan binasa dan tidak akan bertahan kecuali tanah rata dan tandus yang terbebaskan dari mereka yang enggan beriman itu sehingga tidak pada tempatnya bersedih hati, tidak juga hal itu membatalkan kekuasaan Allah atau membatasi kehendak-Nya. Demikian uraian Thabathabai ketika menafsirkan ayat ini.
            Firman-Nya: disebabkan sebagian dosa-dosa mereka mengandung makna bahwa sebagian dosa mereka yang lain Allah abaikan karena memang rahmatNya sedemikian luas, dan pengampuanan-Nya sedemikian besar, sehingga sebagian dosa manusia diampuni sesuai firman-Nya : “Dia member maaf terhadap banyak dari mereka” (QS. asy-Syura [42]: 34).


AYAT 50

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan siapakah yang lebih baik daripada Allah dalam menetapkan hukum bagi kaum yang yakin?”

            Selanjutnya, karena yang ada hanya hukum Allah serta hukum yang bertentangan dengannya, dan hukum yang bertentangan dengannya adalah hukum yang dinamai hukum jahiliah, ayat ini mengecam mereka dalam bentuk pertanyaan: Apakah hukum jahiliah, yakni hukum yang didasarkan oleh hawa nafsu, kepentingan sementara, serta kepicikan pandangan yang mereka kehendaki dan, jika demikian, siapakah yang lebih sesat daripada mereka? Selanjutnya, karena kesempurnaan serta baiknya suatu hukum adalah akibat kesempurnaan pembuatnya, sedang Allah adalah Wujud yang paling baik serta sempurna, jika demikian siapakah yang paling sempurna dan siapakah yang lebih baik daripada Allah Yang Maha Mengetahui itu dalam menetapkan hukum dan dalam hal-hal yang lain bagi kaum yang yakin, yakni yang ingin mantap kepercayaannya?Tidak ada!

            Ketika menafsirkan QS. al-Baqarah [2]:3 tentang arti kata yuqinuun, penulis mengemukakan bahwa kata yuqinuun atau yaqin adalah pengetahuan yang mantap tentang sesuatu disertai dengan tersingkirnya sesuatu yang mengeruhkan pengetahuan itu, baik berupa keraguan maupun dalih-dalih yang dikemukakan lawan. Itu sebabnya pengetahuan Allah tidak dinamai mencapai tingkat yakin karena pengetahuan Yang Maha Mengetahui itu sedemikian jelas sehingga tidak pernah sesaat atau sedikit pun disentuh oleh keraguan. Berbeda dengan manusia yang “yakin”, sebelum tiba keyakinannya, ia terlebih dahulu disentuh oleh keraguan. Namun, begitu ia sampai pada tahap yakin, keraguan yang tadinya ada langsung sirna. Seseorang yang ingin mencapai tahap keyakinan harus berusaha menghilangkan setiap kerancuan yang menyelinap ke dalam benak, dan hatinya. Ini ditempuh dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah, mempelajari hukum-hukum yang ditetapkan-Nya serta mengamalkannya. “Siapa yang mengamalkan apa yang diketahuinya, Allah akan mewariskan kepadanya pengetahuan yang belum diketahuinya.” Demikan sabda Nabi saw., dan pengatahuan yang terakhir ini mengantara ia sampai kepada keyakinan, dan ini pada gilirannya mengantar ia dengan mantap berkata bahwa tidak ada yang lebih baik dari pada Allah dalam menetapkan hukum.


Wallahu 'Alam..