Rabu, 14 Desember 2016

Benarkah Quraish Shihab penganut Syiah?

kali ini penulis mengutip salah satu BAB dalam buku biografi Cahaya, Cinta dan Canda M. Quraish Shihab..menyangkut soal tuduhan yang sering di alamatkan ke beliau..yaitu seorang penganut Syiah, yang penulis ingin kedepankan adalah jangan lah kita gampang menuduh/mencap/melabeli seseorang jika kita tidak memiliki banyak pengetahuan tentang orang tersebut, karena cenderung akan mengarah ke fitnah... 

buku biografi --Cahaya, Cinta dan Canda-- M. Quraish Shihab

ADILI SAYA SEPERTI ABU ZAYD


“Saya minta diadili. Silahkan adili saya!”

S
uara Quraish Shihab meninggi saat menanggapi tudingan, termasuk dari seorang Majelis Ulama Indonesia (MUI), bahwa dirinya penganut Syiah. Ia merujuk kasus Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual Muslim yang divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir pada 1996. Dosen Fakultas Sastra Universitas Kairo itu diadili karena pemikirannya dianggap menyimpang.
            Abu Zayd, antara lain, berpendapat bahwa perkara-perkara gaib yang disebut dalam al-Qur’an seperti ‘arasy, malaikat, setan, jin, surga, dan neraka hanyalah mitos belaka. Abu Zayd juga menyatakan bahwa al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), dan karenanya mengingkari status azalinya sebagai kalamullah yang telah ada dalam al-lauh al-mahfuzh.
            Di pengadilan tingkat pertama, tuntutan yang didukung lebih dua ribu ulama alumnus Universitas al-Azhar atas Abu Zayd ditolak. Namun dipengadilan banding (Mahkamah Isti’naf), yang kemudian diperkuat Mahkamah Agung Mesir, Abu Zayd divonis murtad, dan status pernikahannya dibatalkan.

            “Adili saya seperti Abu Zayd!” tantang Quraish.                     

            Quraish mempersilahkan pengadilan itu mengadilu semua buku dan karyanyam baik cetak maupun audio visual. Dalam pengadilan itu, Quraish akan meminta Syaikh al-Azhar atau ulama yang ditunjuk Mesir menjadi juri. “Kalau terbukti saya Syiah, seluruh biaya peradilannya saya tanggung. Tapi kalau yang menuding saya tidak bisa menemukan bukti, biayanya dia yang nanggung,” tegas Quraish.
            Bukan kali ini saja Quraish mengumbar tantangan. Ketika tudingan dirinya Syiah kencang berembus tahun lalu, Quraish menantang pihak yang menuduhnya untuk menunjukkan bukti dari buku-buku karyanya. “Kalau ada yang bisa menunjukkan saya Syiah, silakan ambil royaltinya.”
            Mengapa tantangan kali ini melibatkan Syaikh al-Azhar atau ulama di Mesir? Sebagai alumus Universitas al-Azhar, Quraish paham betul bahwa para ulama Mesir yang mayoritas Sunni, akan bersikap objektif dalam menilai pemikirannya. Mereka memiliki parameter yang ketat sebelum memvonis seseorang menganut Syiah atau tidak.
            “Bahkan orang yang berkata Sayyidina Ali (bin Abi Thalib) lebih utama dari Sayyidina Umar(bin Khaththab), itu bukan tanda bahwa dia Syiah, yakni pada kepercayaan Imamah, kepemimpinan pengganti Rasulullah,” kata Quraish.
            Quraish sesungguhnya tak peduli dirinya dicap Syiah, atau bahkan Muktazilah sekalipun. Tapi benarkah ia penganut Syiah? Menurutnya, meskipun prinsip dasarnya terkait kepercayaan akan imamah, secara simbolis mudah saja untuk melihat pertanda seseorang menganut Syiah atau tidak. “Lihat saja waktu saya menunaikan ibadah haji, apakah saya kalau naik bus menggunakan atap terbuka seperti yang dilakukan jamaah haji Syiah. Kalau saya shalat, apakah menggunakan batu Karbala di tempat sujud? Kalau saya berbuka puasa, apakah menundanya 10 hingga 15 menit seperti orang Syiah?”
            Quraish menduga, boleh jadi orang menilainya Syiah, karena dalam sejumlah ceramah atau karya tulisnya tersurat kecintaannya yang teramat dalam pada Ahlul Bait; keluarga Nabi Muhammad dan keturunannya dari Fathimah dan Ali bin Abi Thalib. “Saya memang cinta Ahlul Bait karena saya punya hubungan darah dengan mereka. Jadi cinta saya berganda. Yang pertama karena saya tahu akhlak luhur mereka. Kedua, karena mereka kakek-nenek saya.”
            Cinta Ahlul Bait! Itulah yang ditanamkan dan kerap diingatkan sejak masa kanak-kanak Quraish oleh aba Abdurrahman Shihab dan Habib Abdul Qadir Bilfaqih, pimpinan pesantren Dar al-Hadits al-Faqihiyah.
            Setahu Quraish, memang tidak ada cela pada Ahlul Bait, “Kalaupun ada cela, itu bukan dari mereka. Imam Ja’far ash-Shadiq itu gurunya sekian banyak ulama mazhab. Sayidina Husein dan Imam Ali Zainal Abidin sangat dijunjung tinggi di Mesir, bahkan oleh orang-orang Sunni. Orang-orang NU juga sangat mencintai Ahlul Bait.”
            Quraish tak tahu kapan persisnya tudingan Syiah muncul pertama kali. Seingatnya, “cap syiah” mulai berembus ketika ia meluncurkan edisi percobaab Ensiklopedia al-Quran pada 1997. Quraish lah yang menggagas sekaligus memimpin penyusunannya sejak 1992, melibatkan puluhan dosen dan mahasiswa pasca sarjana Institut Agama Islam (kini Universitas Islam Negeri) Jakarta.
            Terhalang kesibukannya sebagai Menteri Agama, lalu Duta Besar RI untuk Mesir dan Djibouti, Quraish baru bisa melanjutkan proyeknya beberapa tahun kemudian. Kali ini melibatkan lebih banyak lagi pakar ilmu tafsir, termasuk sejumlah doctor lulusan Universitas al-Azhar. Pada 2007, Ensiklopedia Al-Quran: Kajian Kosakata dan Tafsirnya setebal 2100 halaman dan terbagi dalam 3 jilid itu akhirnya diterbitkan atas kerjasama Pusat Studi Al-Quran, Lentera Hati, dan Yayasan Paguyuban Ikhlas.
            Quraish dicap Syiah, karena beberapa bagian dari buku ini mengutip tafsir Al-Mizan karya Muhammad Husain Thabathaba’i. karya-karya cendekiawan kelahiran Tabris, Iran, tahun 1903 itu, termasuk tafsir Al-Mizan, memang sangat dikenal dan menjadi rujukan para ulama kontemporer Syiah. Meski tak selalu sepakat dengan sejumlah pemikiran Thabatthaba’I, namun Quraish merasa perlu mengutip pendapat Syiah ini. “Amanah ilmiah mendorong kami untuk mengutip pendapat yang kami yakini kebenarannya, dan bermanfaat bagi pembaca,” kata Quraish.
            Karena panggilan amanah ilmiah pula Qurasih mengutip sejumlah pemikiran Thabathaba’I dalam Tafsir al-Mishbah, disamping ulama tafsir lain, seperti sayyid Muhammad Thanthawi, Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi, Sayyid Qutb, Ibnu ‘Asyur dan, Ibrahim Ibn ‘Umar al-Biqa’i. Tafsir Al-Mishbah yang terdiri dari 10.000 halaman lebih, terbagi dalam 15 jilid dan ditulis Quraish selama empat tahun, tuntas lebih dulu dibanding Ensiklopedia Al-Quran. Cap Syiah usai menerbitkan al-Mishbah lantaran mengutip Thabathaba’i juga berseliweran.
            Namun, tudingan dan “cap Syiah” usai menerbitkan karya ilmiah, tak segencar disbanding ketika Quraish disebut-sebut bakal ditunjuk sebagai Menteri Agama oleh Presiden Soeharto pada Kabinet Pembangunan VII, Maret 1998. Saat itu, aktivis dari Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) bahkan melansir surat pernyataan Osman Ali Babseil, warga Arab Saudi lulusan Universitas Kairo yang mengaku pernah berkawan dengan Quraish pada periode 1958-1963 di Mesir.
            Pada pernyataannya, Osman mengaku sangat mengenal perilaku Quraish dalam membela akidah Syiah. Dalam sejumlah dialog, menurut Osman, Quraish juga menunjukkan sikap dan ucapan yang membela Syiah. Seraya bersumpah soal kesahihan pengakuannya, Osman yakin, sikap Quraish tak berubah seiring perjalanan waktu, meski puluhan tahun berlalu.
            Quraish santai saja menanggapi pengakuan itu. “Bisa jadi ucapan pak Osman itu lahir dari kealpaan dan lupannya. Ketika studi di Mesir, pak Osman sudah bertugas sebagai guru di Sekolah Indonesia. Saya tidak bergaul dengannya, apalagi tempat tinggalnya cukup jauh dari asrama mahasiswa al-Azhar. Dia pun jarang bergaul dengan mahasiswa. Atau mungkin juga pak Osman menduga bahwa yang mencintai Ahli Bait adalah Syiah, apalagi pak Osman tidak berlatar belakang pendidikan agama—lebih-lebih persoalan aliran-aliran dalam Islam.”
            Benar juga peribahasa Arab yang mengatakan: “Tidak semua yang putih itu lemak, tidak juga yang hitam itu kurma.” Dalam konteks ini menurut Quraish “Pak Osman mempersamakan sesuatu yang tidak sama,”
            Pada kali lain Quraish juga menanggapi: “Menyetujui pendapat satu kelompok, tidak otomatis menjadikan yang bersangkutan bagian dari kelompok itu. Membela pemikiran Syiah, tidak otomatis membuat saya jadi Syiah. Saya bukan Syiah, tapi saya tidak setuju untuk menyatakan Syiah itu sesat.”
            Tapi rupanya tudingan itu sampai juga ke telinga Presiden Soeharto dan menjadi perhatiannya sebelum menunjuk Quraish sebagai Menteri Agama. Pak Harto memang tidak bertanya langsung, melainkan lewat putranya, Bambang Trihatmojo. “Pak Quraish dituduh Syiah, gimana ini?”
            “Jangan tanya saya. Tanya saja pak Rally,” jawab Quraish, memnunjuk MS Rally Siregar, Direktur Utama RCTI, stasiun televise yang saat itu masih milik Bambang Tri. Quraish sering mengisi acara-acara keagamaan di RCTI, termasuk Sahur Bersama M. Quraish Shihab yang tayang selama bulan Ramadhan 1417 atau 1997.
            Suatu hari, RCTI diprotes karena menayangkan ceramah keagamaan seorang dai yang disebut-sebut menganut Syiah. Sebelum menghentikan sang dai, Rally Siregar, Dirut RCTI tahun 1991-1999, meminta pendapat Quraish. “ Saya setuju, Pak Rally, orang Syiah itu tidak perlu dikasih kesempatan tampil di RCTI, karena bisa memunculkan suasana tidak enak, dan menimbulkan perpecahan,” jawab Quraish. Sikap Quraish itu menjadi jawaban Rally saat ditanya Bambang Tri terkait tudingan Syiah.
            Penyelidikan pak Harto tak berhenti lewat Bambang. Dia pun “mengutus” putrid sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut. Dalam beberapa kesempatan, Mbak Tutut dan Quraish terlibat perbincangan seputar isu Syiah. “Bukan hanya tudingan Syiah, Mbak Tutut bahkan bertanya, pak Quraish ini NU atau Muhammadiyah? Saya menduga, Mbak Tutut juga bertanya pada banyak sumber soal tuduhan saya Syiah,” kata Quraish.
            Dari pengalaman itu, Quraish yakin muatan politis di balik tudingan Syiah lebih kenal disbanding muatan ideologis. Itulah kenapa tudingan dirinya Syiah lebih kencang berembus saat ia akan ditunjuk sebagai Menteri Agama disbanding ketika meluncurkan karya ilmiah yang “dianggap bermuatan” pemikiran ulama Syiah, seperti Tafsir al-Mishbah­ dan Ensiklopedia Al-Qur’an.
            Menjelang pemilu Presiden 2014, isu Syiah kembali santer. Maklumlah, Qurasih di akhir masa kampanye, secara terbuka mengisyaratkan dukungan pada salah satu kandidat, pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Karuan saja, tak lama setelah kemunculannya di arena panggung terbuka, Salam 2 Jari di stadion Gelora Bung Karno, media social santer membincang “ke-syiah-annya”.
            Demikan halnya ketika seorang Ketua MUI secara terbuka menyebutnya Syiah. Quraish menganggap tudingan koleganya itu cenderung bermuatan politis ketimbang sebagai upaya “ menjaga kemurnian akidah Ahlus Sunnah”. “Saya merasa ada udang di balik batu. Meskipun tidak berpartai, beliau kan politisi,” kata Quraish. Sayangnya, ucapan sang tokoh kerap menjadi rujukan umat. Dan ketika menjadi isu public, orang-orang yang tak memahami persoalan, dan tak mengerti Syiah, pun ikut-ikutan mengumbar tudingan.
            Ada kerisauan di mata Quraish mendapati realitas terkini betapa sejumlah orang merasa hanya kelompoknya yang benar dan enggan menerima perbedaan. Dan lebih merisaukan lagi menyaksikan betapa mudahnya orang menuduh pihak lain sesat atau kafir. Menurut Quraish, “penyakit lama” sikap intoleran itu menunjukkan tanda-tanda kambuh lagi, dan berpotensi mengancam kerukunan antar umat beragama di Indonesia.
            “Ghirah keagamaan mereka sangat kuat, tapi picik. Apalagi sekarang ada bahaya ISIS,” katanya menyebut kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah, yang “merasa benar sendiri”, dank arena kepicikannya bahkan tega menghabisi nyawa orang-orang yang tak sepaham dengan mereka, termasuk penganut Syiah.
            Jiwa Quraish kembali terpanggil untuk mempertemukan dua hal yang berbeda, atau bahkan bertolak belakang. Quraish mengakui, prinsip “mempertemukan” telah mewarnai perjalanan hidupnya. Dan prinsip itu pula yang mendorongnya menulis buku Sunnah Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah? terbitan Lentera Hati (2007). Pada kata pengantar Quraish menulis: “Tiada lain tujuan penulis kecuali terjalinnya hubungan harmonis antar semua kelompok umat Islam, bahkan seluruh umat manusia.”
            Mengutip pendapat para ulama dan pakar Sunnah-Syiah, dalam buku tersebut Quraish ingin menegaskan, memang terdapat sejumlah perbedaan antar Sunnah dan Syiah, tapi persamaannya jauh lebih banyak dari perbedaannya. “Perbedaan antara keduanya adalah perbedaan cara padang dan penafsiran, bukan perbedaan dalam ushul atau prinsip-prinsip dasar keimanan, tidak juga dala rukun-rukun Islam.”
            Quraish juga mengajak pembacanya untuk melihat Syiah dalam kontek kekinian. Syiah sebagai mazhab yang masih dianut di sejumlah negara, bukan dalam konteks historis. “Bicaralah tentang Syiah masa kini. Kalau masa lalu, memnag ada Syiah ghulat yang sesat, yang percaya bahwa Ali itu Nabi. Sebagaimana di kalangan Sunni. Di Syiah juga ada perkembangan pemikiran,” kata Quraish.
            Perbedaan perspektif—antara masa lalu dan kini—inilah yang diingatkan Quraish saat menanggapi buku Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Terbitan Pustaka Sidogiri Kraton Pasurua (2007). Buku yang disusun Tim Penulis dari Pondok Pesantren Sidogiri, Jawa Timur, itu merupakan tanggapan atas buku Quraish, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?
            Karena perbedaan perspektif tadi, awalnya Quraish enggan menanggapi buku dari Pesantren Sidogiri. Namun atas desakan sejumlah pihak, Quraish kemudian menulis tanggapan dalam Kata Pengantar Sunnah Syi’ah Bergandengan Tangan, Mungkinkah? edisi terbaru, Mei 2014. Di sini Quraish menegaskan pentingnya mencari titik temu dan meningkatkan sikap toleransi, bukan malah mempertajam pebedaan.

           “Amat disayangkan ada di antara umat Islam yang termakan oleh isu yang ditumbuh suburkan oleh musuh-musuh (Islam) sehingga lahirlah sekian orang atau kelompok yang enggan melakukan pendekatan, bahkan mengajak untuk menoleh, lalu kembali ke masa lalu yang kelam dan diliputi perpecahan. Kita mestinya mengarah ke depan karena kita adalah putra-putri masa kini, bukan masa lalu”

            Pada bagian lain, Quraish menjelaskan bahwa “upaya mendekatkan” adalah keniscayaan yang dituntut agama, demi kepentingan jangka pendek dan panjang umat:

            “…pendekatan itu bukanlah bermaksud menjadikan mereka menyatu, tapi mengundang mereka memahami sikap masing-masing secara objektif dan adil, lalu bergandengan tangan tanpa melebur identitas, yakni biarlah yang Sunni tetap Sunni dan yang Syiah pun tetap Syiah. Namun, keduanya berjalan seiring mengarah ke depan menuju kejayaan umat dan bangsa.”

            Qurasih juga menyayangkan tiadanya sanggahan baru dari para santri muda Pesantren Sidogiri itu terhadap bukunya:

            “Yang ada hanya pengulangan pendapat-pendapat lama yang telah usang, yang hidangannya bila disodorkan pada masa kini sudah basi atau sangat membosankan, seakan-akan kita hidup pada masa lalu, atau seakan-akan kita terlambat lahir.”

            Quraish mengingatkan, sudah saatnya para pemimpin umat meninggalkan wacana soal khilafiyah (perbedaan) mazhab yang berpotensi memecah belah. “Bukankah banyak hal yang lebih penting, seperti menegakkan keadilan yang menjadi inti ajaran agama, atau mendorong upaya pemberantasan korupsi?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mari bersedekah ilmu..mari memberikan tanggapan..