Jumat, 23 Desember 2011

"Sekeping Taman Surga" di Bumi Indonesia




Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahim...



     Tanah air kita diibaratkan bagai "sekeping surga yang diturunkan Tuhan ke bumi". Itulah rahmat Tuhan yang dianugerahkan-Nya kepada bangsa Indonesia. Ke mana pun kaki melangkah atau mata memandang akan terlihat tanah yang subur, pepohonan yang rindang, serta sawah ladang terbentang, belu lagi apa yang dikandung oleh buminya.

    Sejak beribu-ribu tahun, tanah air ini tidak jemu-jemu mempersembahkan kepada putra-putranya aneka ragam hasil bumi. Tidak sesaat pun ia mogok ataupun lesu dalam berproduksi. Kerja sama yang demikian harmonis diperagakan oleh segala unsurnya: tumbuh-tumbuhan mengeluarkan oksigen agar dihirup oleh binatang, sementara binatang dan manusia oun memberi karbondioksida agar pepohonan dapat mekar dan berbuah.

    Demikianlah, apa yang tidak dibutuhkan oleh sesuatu diberikan kepada yang lain. Sungai-sungai mengairi tumbuhan, hutan membendung banjir, matahari tak jemu-jemunya memberi kehangatan, air yang menguap akibat matahari dikembalikan oleh kerja sama awan dan angin. Apa gerangan yang terjadi bila masing-masing enggan memberi dan bekerja sama? Pasti kepunahan total yang terjadi!

    Prinsip utama yang mengatur tata hidup tumbuh-tumbuhan dan binatang adalah kemampuannya meluruskan yang bengkok dalam perjalanan hidupnya, membetulkan yang salah, dan menyembuhkan yang sakit. Semunya dengan cara mandiri dan otomatis.  


    Sebanyak apa potensi rerumputan yang hijau itu? Adakah sesuatu yang disia-siakannya? Jika kita dapat memahami apa yang dikatakannya, niscaya kita sadar bahwa tidak sesaat pun ia menyia-nyiakan waktu atau mengabaikan peranan yang diembannya. Walau ada pohon besar tumbuh berdampingan, masing-masing tetap mengemban tugasnya karena mereka sadar bahwa tumbuhan yang membangkang dari garis yang disuratkan, pasti akan mengalami kematian atau kekerdilan.

    Pohon besar tidak akan mengambil porsi pohon yang tumbuh, walaupun kecil. Baik yang kecil maupun yang besar mengambil dari apa yang tersedia sesuai kebutuhan masing-masing. Agaknya, mereka tidak mengenal penumpukan, tidak pula pemborosan, apa lagi penindasan. Tidak seperti masyarakat manusia yang menindas, mengambil, menumpuk, serta membuang yang tidak dibutuhkannya.

    Ada sesuatu yang sangat ditakuti--walaupun oleh tumbuhan yang besar sekalipun--yang berasal dari suatu jenis dan bukan bangsanya atau bagian dari dirinya, yaitu benalu. Benalu menghisap secara perlahan-lahan makanan tanaman yang ditumpanginya sehingga membunuhnya.

    "Sekeping taman surga" yang dihiasi oleh aneka ragam tumbuhan terbentang di bumi Indonesia. Sekeping surga itu telah kita rebut dengan darah dan air mata. Darinya, kita harus mampu menarik peljaran agar kita dapat meraih surga yang berada di negeri sekarang.

    Kita harus bekerja tanpa henti, penuh kepedulian, bekerja sama secara harmonis, tidak mengambil melebihi kebutuhan, apalagi menumpuk-numpuk. Kita harus mampu meluruskan sendiri apa yang bengkok dari perjalanan kita dan menyembuhkan apa yang sakit. Kita harus menjadi seperti tumbuh-tumbuhan yang tidak pernah keberatan oleh rimbunnya dedaunan dan tidak pula mengeluh. Bukankah ia makan, tumbuh, dan berbuah berdasarkan perhitungan  yang teliti.

    Dan, terakhir, kita harus waspada dari benalu. Kapan kita berhasil mencapai cita-cita kemerdekaan? Mungkin tidak keliru bila dikatakan, "pada saat kita mampu meniru rumput-rumput hijau yang bergoyang itu!"


Wallahu a'lam bishowab...


Lentera Hati/M. Quraish Shihab...

Rabu, 09 November 2011

Selamat Natal Menurut Al-Quran


Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahim...


Sakit perut menjelang persalinan, memaksa Maryam bersandar ke pohon kurma. Ingin rasanya beliau mati, bahkan tidak pernah hidup sama sekali. Tetapi Malaikat Jibril datang menghibur: " Ada anak sungai di bawahmu, goyangkan pangkal pohon kurma ke arahmu, makan, minum, dan senangkan hatimu. Kalau ada yang datang katakan: 'Aku bernazar tidak bicara'."
     "Hai Maryam, engkau melakukan yang amat buruk. Ayahmu bukan penjahat, ibumu pun bukan pezina," demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi di gendongannya. Tetapi Maryam terdiam. Beliau hanya menunjuk bayinya. Dan ketika itu bercakaplah sang bayi menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah yang diberi Al-Kitab, shalat, berzakat serta mengabdi kepada ibunya. Kemudian sang bayi berdoa: "Salam sejahtera(semoga) dilimpahkan kedapaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari ketika aku dibangkitkan hidup kembali."


     Itu cuplikan kisah Natal dari Al-Quran Surah Maryam ayat 34. Dengan demikian, Al-Quran mengabdikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia itu, Isa a.s.
     Terlarangkah mengucapkan salam semacam itu? Bukankah Al-Quran telah memberikan contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lainnya? Setiap Muslim harus percaya kepada Isa a.s. seperti penjelasan ayat diatas, juga harus percaya kepada Muhammad saw., karena keduanya adalah hamba dan utusan Allah. Kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul. Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) Isa a.s.? Bukankah Nabi saw. juga merayakan hari keselamatan Musa a.s. dari gangguan Fir'aun dengan berpuasa 'Asyuara, seraya bersabda, "Kita lebih wajar merayakannya daripada orang Yahudi pengikut Musa a.s."
     Bukankah, "Para nabi bersaudara hanya ibunya yang berbeda-beda?" seperti disabdakan Nabi Muhammad saw.? Bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas kemampuan kita, atau batas yang digariskan oleh anutan kita? Demikian lebih kurang pandangan satu pendapat.
     Banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan Al-Masih yang dijelaskan oleh sejarah atau agama dan telah disepakati, sehingga harus diterima. Tetapi, ada juga yang tidak dibenarkan atau diperselisihkan. Di sini, kita berhenti untuk merujuk kepercayaan kita.
     Isa a.s. datang membawa kasih, "Kasihilah seterumu dan doakan yang menganiayamu." Muhammad saw. datang membawa rahmat, "Rahmatilah yang di dunia, niscaya yang di langit merahmatimu." Manusia adalah fokus ajaran keduanya; karena itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan.
     Isa menunjuk dirinya sebagai "anak manusia", sedangkan Muhammad saw. diperintahkan oleh Allah untuk berkata: "Aku manusia seperti kamu." Keduanya datang membebaskan manusia dari kemiskinan ruhani, kebodohan, dan belenggu penindasan. Ketika orang-orang mengira bahwa anak Jairus yang sakit telah mati, Al-Masih yang menyembuhkannya meluruskan kekeliruan mereka dengan berkata, "Dia tidak mati, tetapi tidur." Dan ketika terjadi gerhana pada hari wafatnya putra Muhammad, orang berkata: "Matahari mengalami gerhana karena kematiannya." Muhammad saw. lalu menegur, "Matahari tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang." Keduanya datang membebaskan manusia baik yang kecil, lemah dan tertindas---dhu'afa' dan al-mustadh'afin dalam istilah Al-Quran.
     Bukankah ini satu dari sekian titik temu antara Muhammad dan Al-Masih? Bukankah ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawa' (kata sepakat) yang ditawarkan Al-Quran kepada penganut Kristen dan Yahudi (QS 3: 64)? Kalau demikian, apa salahnya mengucapkan selamat natal, selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Al-Quran sendiri yang telah mengabdikan selamat natal itu?
     Itulah antara lain alasan yang membenarkan seseorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual. Di sisi lain, marilah kita menggunakan kacamata yang melarangnya.
     Agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat dipelihara. karenanya salah, bahkan dosa, bila kerukunan dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa pula kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama kerukunan.
     Teks keagamawan yang berkaitan dengan akidah sangat jelas, dan tidak juga rinci. Itu semua untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman, Bahkan Al-Quran tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu, tidak disalahpahami. Kata "Allah", misalnya, tidak digunakan Al-Quran, ketika pengertian semantiknya yang dipahami masyarakat jahiliah belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad). Demikian terlihat pada wahyu pertama hingga surah Al-Ikhlas. Nabi saw. sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun bertanya, "Di mana Tuhan?" Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi itu karena ia menimbulkan keberadaan Tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagiNya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata "ada" bagi Tuhan, tetapi "wujud Tuhan".
     Natalan, walaupun berkaitan dengan Isa Al-Masih, manusia agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat Kristen yang pandangannya terhadap Al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan "Selamat Natal" atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantar kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan Al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. dengan kacamata itu, lahir larangan dan fatwa haram itu, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apa pun yang berkaitan dengan Natal tidak dibenarkan, sampai pada jual-beli untuk keperluan Natal.

     Adakah kacamata lain? Mungkin!
     Seperti terlihat, larangan ini muncul dalam rangka upaya memelihara akidah. karena, kekhawatiran kerancuan pemahaman, agaknya lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika ada seseorang ketika mengucapkannya sesuai dengan kandungan "Selamat Natal" Qurani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi di mana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun Muslim yang lain, maka agaknya tidak beralasan adanya larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat Al-Quran?
     Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, Al-Quran memperkenalkan satu bentuk redaksi, di mana lawan bicara memahaminya sesuai dengan pandangan atau keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya. karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan keyakinannya. Salah satu contoh yang dikemukakan adalah ayat-ayat yang tercantum dalam QS 34: 24-25. Kalaupun non-Muslim memahami ucapan "Selamat Natal" sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial.
     Tidal kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu, bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tetapi, tidak juga salah mereka yang membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.
     Dostoyevsky (1821-1881), pengarang Rusia kenamaan, pernah berimajinasi tentang kedatangan kembali Al-Masih. Sebagian umat Islam pun percaya akan kedatangannya kembali. Terlepas dari penilaian terhadap imajinasi dan kepercayaan itu, kita dapat memastikan bahwa jika benar beliau datang, seluruh umat berkewajiban menyambut dan mendukungnya, dan pada saat kehadirannya itu pasti banyak hal yang akan beliau luruskan. Bukan saja sikap dan ucapan umatnya, tetapi juga sikap dan ucapan umat Muhammad saw. Salam sejahtera semoga tercurah kepada beliau, pada hari Natalnya, hari wafatnya dan hari kebangkitannya nanti.



Wallahu a'lam.....

Membumikan Al-Quran/ M. Quraish Shihab.....

Selasa, 25 Oktober 2011

Kemudahan Beragama


Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahim


    Seorang wanita datang mengadukan suaminya kepada Nabi saw.: "Wahai Rasul, suamiku, Shafwan, menghardik dan memukulku bila aku shalat, memaksaku berbuka bila aku berpuasa (sunnah), dan dia tidak shalat subuh kecuali setelah matahari terbit."

   Mendengar keluhan ini, Nabi saw. menoleh dengan seluruh badannya--begitulah cara Nabi menoleh--kepada suami si wanita itu sambil bertanya: "Benarkah itu wahai shafwan?"

  "Benar, wahai Nabi," jawab Shafwan tulus, "tetapi aku menghardik dan memukulnya karena (shalatnya panjang) ia membaca dua surah (selain Al-Fatihah) setiap rakaatnya. Telah berkali-kali kutegur, tetapi ia terus menolak. Benar, wahai Rasul, aku menyuruhnya berbuka ketika berpuasa sunnah, sebab aku adalah seorang pemuda sehat yang sering kali tak mampu menahan birahi. Juga benar bahwa aku memang tidak shalat subuh kecuali setelah matahari (hampir) terbit. Sebab keluargaku telah terbiasa bangun lambat, sungguh sulit bagiku bangun di waktu fajar. "

   Nabi saw. membenarkan sikap Shafwan, sambil berpesan:"Shalat subuhlah segera setelah engkau bangun!" Kemudian beliau menoleh kepada istri Shafwan dan berkata:"Persingkatlah shalatmu dan jangan berpuasa sunnah kecuali atas perkenan suamimu."

   Kisah di atas dikemukakan oleh Ahmad Hasan Al-Baquri, mantan Menteri Waqaf dan urusan Al-Azhar, Mesir, dalam kumpulan tulisannya yang diberi judul Min Adab Al-Nubuwah (Sekelumit Etika Kenabian), ketika membicarakan kemudahan-kemudahan beragama. Memang, Al-Qur'an secara gamblang menggaris bawahi bahwa Allah tidak menjadikan sedikit kesulitan pun dalam hal beragama (QS 22: 78).

   Salah satu kaidah hukum Islam menegaskan bahwa "kesulitan melahirkan kemudahan", dalam arti "jika seseorang mengalami kesulitan dalam pelaksanaan agama, maka ia mendapat pengecualian sehingga memperoleh kemudahan". Sayang, jalan-jalan ke udahan itu tidak banyak diketahui umat karena banyak ulama enggan memopulerkannya. Mereka khawatir, dengan memopulerkannya, akan menimbulkan sikap mengabaikan agama, Sikap ini, dari saru sisi, dapat dibenarkan. Tetapi, hendaknya diingat juga bahwa tidak jarang ajaran agama diabaikan sama sekali karena kemudahannya tidak diketahui.

   Sungguh menarik makalah Mufti Lebanon Selatan, Syeikh Nadim Al-Jisr, yang pernah disampaikan di Mukatamar Kedua Badan Penelitian Islam di Mesir: "Adalah baik memberi kemudahan, misalnya, dalam bersuci, menggabung shalat (zhuhur dan asar, atau maghrib dan isya) khususnya saat ada uzur (kesibukan) sesuai dengan mazhab ulama Hanbali. Apalagi seperti pada saat sekarang ini, di mana tuntutan untuk bekerja keras dan cepat untuk memenuhi kebutuhan hidup sangat tinggi." Ini bukan berarti menggampangkan ajaran agama, tetapi demikian itulah ajaran agama.

   Mungkin ada yang kaget membaca komentar Al-Baquri tentang kisah di atas. Dia menulis: "Rasulullah saw. membolehkan bagi yang terbiasa tidur untuk melaksanakan shalat subuh sesudah terbitnya matahari. Ia tidak berdosa karena keterlambatannya itu. Demikianlah, orang tidak mengenal kemudahan melebihi kemudahan ini." Supaya tidak mengagetkan, perlu ditambahkan bahwa ini tidak berlaku bagi mereka yang berleha-leha di malam hari, juga tidak bagi yang terlambat bangun karena kemalasan.


Wallahu a'lam.....

Lentera Al-Quran/ M. Quraish Shihab...

Senin, 24 Oktober 2011

"Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mencipta"



Bismillahi Ar-Rahman Ar-Rahim....

Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mencipta....

   Pada surah al-'Alaq di atas bagaikan menyatakan: Bacalah wahyu-wahyu Ilahi yang sebentar lagi akan banyak kamu terima dan baca juga alam dan masyarakatmu. Bacalah agar engkau membekali dirimu dengan kekuatan pengetahuan. Bacalah semua itu tetapi dengan syarat hal tersebut engkau lakukan dengan atau demi nama Tuhan Yang selalu memelihara dan membimbingmu dan Yang mencipta semua makhluk kapan dan di mana pun.

    Kata  iqra' terambil dari kata kerja qara'a  yang pada mulanya berarti menghimpun. Apabila merangkai huruf atau kata kemudian Anda mengucapkan rangkain tersebut , Anda telah menghimpunnya, yakni membacanya. Dengan demikian, realisasi perintah tersebut tidak mengharuskannya adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karenanya, dalam kamus-kamus ditemukan aneka ragam arti dari kata tersebut. Antara lain: menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu,  dan sebagainya yang kesemuanya bermuara pada arti menghimpun. 

   Ayat di atas tidak menyebutkan objek bacaan--dan Jibril as. ketika itu tidak juga membaca teks tertulis--dan karena itu dalam satu riwayat dinyatakan bahwa Nabi saw. bertanya ma aqra/ apakah yang saya harus  baca?


   Beraneka ragam pendapat ahli tafsir tentang objek bacaan yang dimaksud. Ada yang berpendapat bahwa itu wahyu-wahyu al-Qur'an sehingga perintah dalam arti bacalah wahyu-wahyu al-Qur'an ketika dia turun nanti. Ada juga yang berpendapat objeknya adalah ismi Rabbika sambil menilai huruf ba' yang menyertai kata ismi adalah sisipan sehingga ia berarti bacalah nama Tuhanmu atau berzikirlah. Tapi, jika demikian, mengapa Nabi saw. menjawab: "Saya tidak dapat membaca". Seandainya yang dimaksud adalah perintah berzikir tentu beliau tidak menjawab demikian karena jauh sebelum datang wahyu beliau telah senantiasa melakukannya.

   Muhammad 'Abduh memahami perintah membaca di sini buka sebagai beban tugas yang harus dilaksanakan (amr taklifi) sehingga membutuhkan objek, tetapi ia adalah amr takwini yang mewujudkan kemampuan membaca secara aktual pada diri pribadi Nabi Muhammad saw. Pendapat ini dihadang oleh kenyataan bahwa setelah turunnya perintah ini pun Nabi Muhammad saw. masih tetap dinamai al-Qur'an sebagai seorang ummy (tidak pandai membaca dan menulis), di sisi lain jawaban Nabi kepada Jibril ketika itu  tidak mendukung pemahaman tersebut.

   Kaidah kebahasaan menyatakan, "Apabila suatu kata kerja yang membutuhkan objek tetapi tidak disebutkan objeknya, objek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut." Dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa karena kata iqra' digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan, dan sebagainya, dan karena objeknya bersifat umum, objek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau, baik ia merupakan bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun bukan, baik ia menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Alhasil, perintah iqra' mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, serta bacaan tertulis, baik suci maupun tidak.

   Huruf ba'  pada kata bismi ada juga yang memahaminya sebagai berfungi penyertaan atau mulabasah sehingga dengan demikian ayat tersebut berarti "bacalah disertai dengan nama Tuhanmu".

   Sementara ulama memahami kalimat bismi Rabbika bukan dalam pengertian harfiahnya. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab, sejak masa Jahiliah, mengaitkan suatu pekerjaan dengan nama sesuatu yang mereka agungkan. Itu memberi kesan yang baik atau katakanlah "berkat" terhadap pekerjaan tersebut juga untuk menunjukkan bahwa pekerjaan tadi dilakukan semata-mata karena "dia" yang namanya disebutkan itu. Dahulu, misalnya sebelum turunnya al-Qur'an, kaum musyrikin sering berkata "Bismi al-lata" dengan maksud bahwa apa yang mereka lakukan tidak lain kecuali demi karena tuhan berhala al-lata itu dan bahwa mereka mengharapkan "anugerah dan berkat" dari berhala tersebut.

   Mengaitkan pekerjaan dengan nama Allah mengantarkan pelakunya untuk tidak melakukannya kecuali karena Allah dan hal ini akan menghasilkan keabadian karena hanya Allah Yang Kekal Abadi dan hanya aktivitas yang dilakukan secara ikhlas yang akan diterima-Nya. Tanpa keikhlasan, semua aktivitas akan berakhir dengan kegagalan dan kepunahan (baca QS. al-Furqan [25]: 23).

   Syaikh 'Abduh Halim Mahmud (mantan Pemimpin Tertinggi al-Azhar Mesir) menulis dalam bukunya, al-Qur'an Fi Syahr al-Qur'an, bahwa: "Dengan kalimat iqra' bismi Rabbik, al-Qur'an tidak sekedar memerintahkan untuk membaca, tapi 'membaca' adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan semangatnya ingin menyatakan 'Bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu.' Demikian juga apabila Anda berhenti bergerak atau berhenti melakukan sesuatu aktivitas, hendaklah hal tersebut juga didasarkan pada  bismi Rabbik sehingga pada akhir ayat tersebut berarti 'Jadikanlah seluruh kehidupanmu, wujudmu, dalam cara dan tujuannya, kesemuanya demi karena Allah."

   Kata  rabb seakar dengan kata tarbiyah/pendidikan. Kata ini memiliki arti berbeda-beda namun pada akhirnya arti-arti itu mengacu kepada pengembangan, peningkatan, ketinggian, kelebihan, serta perbaikan. Kata  rabb maupun tarbiyah berasal dari kata raba-yarbu yang dari segi pengertian kebahasaan adalah kelebihan. Dataran tinggi dinamai rabwah, sejenis roti yang dicampur dengan air sehingga membengkak dan membesar disebut ar-rabw.

   Kata  Rabb apabila berdiri sendiri maka yang dimaksud adalah "Tuhan" yang tentunya antara lain karena Dia-lah yang melakukan tarbiyah (pendidikan) yang pada hakikatnya adalah pengembangan, peningkatan, serta perbaikan makhluk ciptaan-Nya.

 Agaknya, penggunaan kata Rabb dalam ayat ini dan ayat-ayat semacamnya dimaksudkan untuk menjadi dasar perintah mengikhlaskan diri kepada-Nya sambil menunjuk kewajaran-Nya untuk disembah dan ditaati.


   Dalam wahyu-wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw. tidak ditemukan kata Allah, tetapi kata yang digunakan menunjuk Tuhan adalah Rabbuka/Tuhanmu, wahai Nabi Muhammad, yakni bukan Tuhan yang dipercaya kaum musyrikin. Perhatikan lima ayat pertama surah ini, demikian juga wahyu berikutnya, surah al-Muddatstsir, al-Qalam, awal surah al-Muzzammil, dan surah Tabbat. Surah-surah sesudahnya sampai dengan surah Sabbihisma kesemuanya tanpa menggunakan kata Allah, kecuali bila ayat surah itu turun terpisah dengan ayat-ayat surah lainnya. Tidak digunakannya kata Allah karena kaum musyrikin percaya juga kepada Allah, tetapi keyakinan mereka tentang Allah jauh berbeda dengan keyakinan yang dihayati dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Mereka misalnya beranggapan bahwa ada hubungan tertentu antara Allah dan Jin(QS. ash-Shaffat [37]: 158) dan bahwa Allah memiliki anak-anak wanita(QS. al-Isra [17]: 40) dan bahwa mereka tidak dapat berkomunikasi secara langsung kepada-Nya sehingga para malaikat dan berhala-berhala perlu disembah sebagai perantara anatara manusia dan Allah (QS. az-Zumar [39]: 3). Kepercayaan seperti yang dikemukakan ini jelas berbeda dengan ajaran al-Qur'an atau yang diyakini oleh Nabi Muhammad saw. Hingga jika seandainya dinyatakan Iqra' bismillah atau "Percalah kepada Allah", kaum musyrikin akan berkata "Kami telah melakukannya".

   Kata khalaqa dari segi pengertian kebahasaan memiliki sekian banyak arti, antara lain mencipatakan (dari tiada), menciptakan (tanpa satu contoh terlebih dahulu), mengukur, memperhalus, menngatur, membuat, dan sebagainya. Kata ini biasanya memberikan tekanan tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya. Berbeda dengan kata ja'ala  yang mengandung penekanan terhadap manfaat yang harus atau dapat diperoleh dari sesuatu yang dijadikan itu.

   Objek khalaqa pada ayat ini tidak disebutkan sehingga objeknya pun sebagaimana  iqra' bersifat umum dan, dengan demikian, Allah adalah Pencipta semua makhluk.

Wallahu a'lam.....

Tafsir Al-Misbah/M. Quraish Shihab..