kali ini penulis mengutip salah satu BAB dalam buku biografi Cahaya, Cinta dan Canda M. Quraish Shihab..menyangkut soal tuduhan yang sering di alamatkan ke beliau..yaitu seorang penganut Syiah, yang penulis ingin kedepankan adalah jangan lah kita gampang menuduh/mencap/melabeli seseorang jika kita tidak memiliki banyak pengetahuan tentang orang tersebut, karena cenderung akan mengarah ke fitnah...
buku biografi --Cahaya, Cinta dan Canda-- M. Quraish Shihab |
ADILI SAYA SEPERTI ABU ZAYD
“Saya minta diadili.
Silahkan adili saya!”
S
|
uara
Quraish Shihab meninggi saat menanggapi tudingan, termasuk dari seorang Majelis
Ulama Indonesia (MUI), bahwa dirinya penganut Syiah. Ia merujuk kasus Nasr
Hamid Abu Zayd, intelektual Muslim yang divonis murtad oleh Mahkamah Agung
Mesir pada 1996. Dosen Fakultas Sastra Universitas Kairo itu diadili karena
pemikirannya dianggap menyimpang.
Abu Zayd, antara lain, berpendapat
bahwa perkara-perkara gaib yang disebut dalam al-Qur’an seperti ‘arasy,
malaikat, setan, jin, surga, dan neraka hanyalah mitos belaka. Abu Zayd juga
menyatakan bahwa al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), dan
karenanya mengingkari status azalinya sebagai kalamullah yang telah ada
dalam al-lauh al-mahfuzh.
Di pengadilan tingkat pertama,
tuntutan yang didukung lebih dua ribu ulama alumnus Universitas al-Azhar atas
Abu Zayd ditolak. Namun dipengadilan banding (Mahkamah Isti’naf), yang
kemudian diperkuat Mahkamah Agung Mesir, Abu Zayd divonis murtad, dan status
pernikahannya dibatalkan.
“Adili
saya seperti Abu Zayd!” tantang Quraish.
Quraish mempersilahkan pengadilan
itu mengadilu semua buku dan karyanyam baik cetak maupun audio visual. Dalam
pengadilan itu, Quraish akan meminta Syaikh al-Azhar atau ulama yang ditunjuk
Mesir menjadi juri. “Kalau terbukti saya Syiah, seluruh biaya peradilannya saya
tanggung. Tapi kalau yang menuding saya tidak bisa menemukan bukti, biayanya
dia yang nanggung,” tegas Quraish.
Bukan kali ini saja Quraish
mengumbar tantangan. Ketika tudingan dirinya Syiah kencang berembus tahun lalu,
Quraish menantang pihak yang menuduhnya untuk menunjukkan bukti dari buku-buku
karyanya. “Kalau ada yang bisa menunjukkan saya Syiah, silakan ambil royaltinya.”
Mengapa tantangan kali ini
melibatkan Syaikh al-Azhar atau ulama di Mesir? Sebagai alumus Universitas
al-Azhar, Quraish paham betul bahwa para ulama Mesir yang mayoritas Sunni, akan
bersikap objektif dalam menilai pemikirannya. Mereka memiliki parameter yang
ketat sebelum memvonis seseorang menganut Syiah atau tidak.
“Bahkan orang yang berkata Sayyidina
Ali (bin Abi Thalib) lebih utama dari Sayyidina Umar(bin Khaththab), itu bukan
tanda bahwa dia Syiah, yakni pada kepercayaan Imamah, kepemimpinan
pengganti Rasulullah,” kata Quraish.
Quraish sesungguhnya tak peduli
dirinya dicap Syiah, atau bahkan Muktazilah sekalipun. Tapi benarkah ia
penganut Syiah? Menurutnya, meskipun prinsip dasarnya terkait kepercayaan akan imamah,
secara simbolis mudah saja untuk melihat pertanda seseorang menganut Syiah atau
tidak. “Lihat saja waktu saya menunaikan ibadah haji, apakah saya kalau naik
bus menggunakan atap terbuka seperti yang dilakukan jamaah haji Syiah. Kalau
saya shalat, apakah menggunakan batu Karbala di tempat sujud? Kalau saya
berbuka puasa, apakah menundanya 10 hingga 15 menit seperti orang Syiah?”
Quraish menduga, boleh jadi orang
menilainya Syiah, karena dalam sejumlah ceramah atau karya tulisnya tersurat
kecintaannya yang teramat dalam pada Ahlul Bait; keluarga Nabi Muhammad dan
keturunannya dari Fathimah dan Ali bin Abi Thalib. “Saya memang cinta Ahlul
Bait karena saya punya hubungan darah dengan mereka. Jadi cinta saya berganda.
Yang pertama karena saya tahu akhlak luhur mereka. Kedua, karena mereka
kakek-nenek saya.”
Cinta Ahlul Bait! Itulah yang
ditanamkan dan kerap diingatkan sejak masa kanak-kanak Quraish oleh aba
Abdurrahman Shihab dan Habib Abdul Qadir Bilfaqih, pimpinan pesantren Dar
al-Hadits al-Faqihiyah.
Setahu Quraish, memang tidak ada
cela pada Ahlul Bait, “Kalaupun ada cela, itu bukan dari mereka. Imam Ja’far
ash-Shadiq itu gurunya sekian banyak ulama mazhab. Sayidina Husein dan Imam Ali
Zainal Abidin sangat dijunjung tinggi di Mesir, bahkan oleh orang-orang Sunni.
Orang-orang NU juga sangat mencintai Ahlul Bait.”
Quraish tak tahu kapan persisnya
tudingan Syiah muncul pertama kali. Seingatnya, “cap syiah” mulai berembus
ketika ia meluncurkan edisi percobaab Ensiklopedia al-Quran pada 1997.
Quraish lah yang menggagas sekaligus memimpin penyusunannya sejak 1992,
melibatkan puluhan dosen dan mahasiswa pasca sarjana Institut Agama Islam (kini
Universitas Islam Negeri) Jakarta.
Terhalang kesibukannya sebagai
Menteri Agama, lalu Duta Besar RI untuk Mesir dan Djibouti, Quraish baru bisa
melanjutkan proyeknya beberapa tahun kemudian. Kali ini melibatkan lebih banyak
lagi pakar ilmu tafsir, termasuk sejumlah doctor lulusan Universitas al-Azhar.
Pada 2007, Ensiklopedia Al-Quran: Kajian Kosakata dan Tafsirnya setebal
2100 halaman dan terbagi dalam 3 jilid itu akhirnya diterbitkan atas kerjasama
Pusat Studi Al-Quran, Lentera Hati, dan Yayasan Paguyuban Ikhlas.
Quraish dicap Syiah, karena beberapa
bagian dari buku ini mengutip tafsir Al-Mizan karya Muhammad Husain
Thabathaba’i. karya-karya cendekiawan kelahiran Tabris, Iran, tahun 1903 itu,
termasuk tafsir Al-Mizan, memang sangat dikenal dan menjadi rujukan para
ulama kontemporer Syiah. Meski tak selalu sepakat dengan sejumlah pemikiran
Thabatthaba’I, namun Quraish merasa perlu mengutip pendapat Syiah ini. “Amanah
ilmiah mendorong kami untuk mengutip pendapat yang kami yakini kebenarannya,
dan bermanfaat bagi pembaca,” kata Quraish.
Karena panggilan amanah ilmiah pula
Qurasih mengutip sejumlah pemikiran Thabathaba’I dalam Tafsir al-Mishbah,
disamping ulama tafsir lain, seperti sayyid Muhammad Thanthawi, Syaikh
Mutawalli asy-Sya’rawi, Sayyid Qutb, Ibnu ‘Asyur dan, Ibrahim Ibn ‘Umar
al-Biqa’i. Tafsir Al-Mishbah yang terdiri dari 10.000 halaman lebih,
terbagi dalam 15 jilid dan ditulis Quraish selama empat tahun, tuntas lebih
dulu dibanding Ensiklopedia Al-Quran. Cap Syiah usai menerbitkan al-Mishbah
lantaran mengutip Thabathaba’i juga berseliweran.
Namun, tudingan dan “cap Syiah” usai
menerbitkan karya ilmiah, tak segencar disbanding ketika Quraish disebut-sebut
bakal ditunjuk sebagai Menteri Agama oleh Presiden Soeharto pada Kabinet
Pembangunan VII, Maret 1998. Saat itu, aktivis dari Lembaga Penelitian dan
Pengkajian Islam (LPPI) bahkan melansir surat pernyataan Osman Ali Babseil,
warga Arab Saudi lulusan Universitas Kairo yang mengaku pernah berkawan dengan
Quraish pada periode 1958-1963 di Mesir.
Pada pernyataannya, Osman mengaku
sangat mengenal perilaku Quraish dalam membela akidah Syiah. Dalam sejumlah
dialog, menurut Osman, Quraish juga menunjukkan sikap dan ucapan yang membela
Syiah. Seraya bersumpah soal kesahihan pengakuannya, Osman yakin, sikap Quraish
tak berubah seiring perjalanan waktu, meski puluhan tahun berlalu.
Quraish santai saja menanggapi
pengakuan itu. “Bisa jadi ucapan pak Osman itu lahir dari kealpaan dan
lupannya. Ketika studi di Mesir, pak Osman sudah bertugas sebagai guru di
Sekolah Indonesia. Saya tidak bergaul dengannya, apalagi tempat tinggalnya
cukup jauh dari asrama mahasiswa al-Azhar. Dia pun jarang bergaul dengan
mahasiswa. Atau mungkin juga pak Osman menduga bahwa yang mencintai Ahli Bait
adalah Syiah, apalagi pak Osman tidak berlatar belakang pendidikan
agama—lebih-lebih persoalan aliran-aliran dalam Islam.”
Benar juga peribahasa Arab yang
mengatakan: “Tidak semua yang putih itu lemak, tidak juga yang hitam itu
kurma.” Dalam konteks ini menurut Quraish “Pak Osman mempersamakan sesuatu yang
tidak sama,”
Pada kali lain Quraish juga
menanggapi: “Menyetujui pendapat satu kelompok, tidak otomatis menjadikan yang
bersangkutan bagian dari kelompok itu. Membela pemikiran Syiah, tidak otomatis
membuat saya jadi Syiah. Saya bukan Syiah, tapi saya tidak setuju untuk
menyatakan Syiah itu sesat.”
Tapi rupanya
tudingan itu sampai juga ke telinga Presiden Soeharto dan menjadi perhatiannya
sebelum menunjuk Quraish sebagai Menteri Agama. Pak Harto memang tidak bertanya
langsung, melainkan lewat putranya, Bambang Trihatmojo. “Pak Quraish dituduh
Syiah, gimana ini?”
“Jangan tanya saya. Tanya saja pak
Rally,” jawab Quraish, memnunjuk MS Rally Siregar, Direktur Utama RCTI, stasiun
televise yang saat itu masih milik Bambang Tri. Quraish sering mengisi
acara-acara keagamaan di RCTI, termasuk Sahur Bersama M. Quraish Shihab
yang tayang selama bulan Ramadhan 1417 atau 1997.
Suatu hari, RCTI diprotes karena
menayangkan ceramah keagamaan seorang dai yang disebut-sebut menganut Syiah.
Sebelum menghentikan sang dai, Rally Siregar, Dirut RCTI tahun 1991-1999,
meminta pendapat Quraish. “ Saya setuju, Pak Rally, orang Syiah itu tidak perlu
dikasih kesempatan tampil di RCTI, karena bisa memunculkan suasana tidak enak,
dan menimbulkan perpecahan,” jawab Quraish. Sikap Quraish itu menjadi jawaban
Rally saat ditanya Bambang Tri terkait tudingan Syiah.
Penyelidikan pak Harto tak berhenti
lewat Bambang. Dia pun “mengutus” putrid sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana
alias Mbak Tutut. Dalam beberapa kesempatan, Mbak Tutut dan Quraish terlibat
perbincangan seputar isu Syiah. “Bukan hanya tudingan Syiah, Mbak Tutut bahkan
bertanya, pak Quraish ini NU atau Muhammadiyah? Saya menduga, Mbak Tutut juga
bertanya pada banyak sumber soal tuduhan saya Syiah,” kata Quraish.
Dari pengalaman itu, Quraish yakin
muatan politis di balik tudingan Syiah lebih kenal disbanding muatan ideologis.
Itulah kenapa tudingan dirinya Syiah lebih kencang berembus saat ia akan
ditunjuk sebagai Menteri Agama disbanding ketika meluncurkan karya ilmiah yang
“dianggap bermuatan” pemikiran ulama Syiah, seperti Tafsir al-Mishbah
dan Ensiklopedia Al-Qur’an.
Menjelang pemilu Presiden 2014, isu
Syiah kembali santer. Maklumlah, Qurasih di akhir masa kampanye, secara terbuka
mengisyaratkan dukungan pada salah satu kandidat, pasangan Joko Widodo dan
Jusuf Kalla. Karuan saja, tak lama setelah kemunculannya di arena panggung
terbuka, Salam 2 Jari di stadion Gelora Bung Karno, media social santer
membincang “ke-syiah-annya”.
Demikan halnya ketika seorang Ketua
MUI secara terbuka menyebutnya Syiah. Quraish menganggap tudingan koleganya itu
cenderung bermuatan politis ketimbang sebagai upaya “ menjaga kemurnian akidah
Ahlus Sunnah”. “Saya merasa ada udang di balik batu. Meskipun tidak berpartai,
beliau kan politisi,” kata Quraish. Sayangnya, ucapan sang tokoh kerap menjadi
rujukan umat. Dan ketika menjadi isu public, orang-orang yang tak memahami
persoalan, dan tak mengerti Syiah, pun ikut-ikutan mengumbar tudingan.
Ada kerisauan di mata Quraish
mendapati realitas terkini betapa sejumlah orang merasa hanya kelompoknya yang
benar dan enggan menerima perbedaan. Dan lebih merisaukan lagi menyaksikan
betapa mudahnya orang menuduh pihak lain sesat atau kafir. Menurut Quraish,
“penyakit lama” sikap intoleran itu menunjukkan tanda-tanda kambuh lagi, dan
berpotensi mengancam kerukunan antar umat beragama di Indonesia.
“Ghirah keagamaan mereka
sangat kuat, tapi picik. Apalagi sekarang ada bahaya ISIS,” katanya menyebut
kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah, yang “merasa benar sendiri”, dank
arena kepicikannya bahkan tega menghabisi nyawa orang-orang yang tak sepaham
dengan mereka, termasuk penganut Syiah.
Jiwa
Quraish kembali terpanggil untuk mempertemukan dua hal yang berbeda, atau
bahkan bertolak belakang. Quraish mengakui, prinsip “mempertemukan” telah
mewarnai perjalanan hidupnya. Dan prinsip itu pula yang mendorongnya menulis
buku Sunnah Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah? terbitan Lentera Hati
(2007). Pada kata pengantar Quraish menulis: “Tiada lain tujuan penulis kecuali
terjalinnya hubungan harmonis antar semua kelompok umat Islam, bahkan seluruh
umat manusia.”
Mengutip
pendapat para ulama dan pakar Sunnah-Syiah, dalam buku tersebut Quraish ingin
menegaskan, memang terdapat sejumlah perbedaan antar Sunnah dan Syiah, tapi
persamaannya jauh lebih banyak dari perbedaannya. “Perbedaan antara keduanya
adalah perbedaan cara padang dan penafsiran, bukan perbedaan dalam ushul atau
prinsip-prinsip dasar keimanan, tidak juga dala rukun-rukun Islam.”
Quraish
juga mengajak pembacanya untuk melihat Syiah dalam kontek kekinian. Syiah
sebagai mazhab yang masih dianut di sejumlah negara, bukan dalam konteks
historis. “Bicaralah tentang Syiah masa kini. Kalau masa lalu, memnag ada Syiah
ghulat yang sesat, yang percaya bahwa Ali itu Nabi. Sebagaimana di
kalangan Sunni. Di Syiah juga ada perkembangan pemikiran,” kata Quraish.
Perbedaan
perspektif—antara masa lalu dan kini—inilah yang diingatkan Quraish saat
menanggapi buku Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Terbitan Pustaka
Sidogiri Kraton Pasurua (2007). Buku yang disusun Tim Penulis dari Pondok
Pesantren Sidogiri, Jawa Timur, itu merupakan tanggapan atas buku Quraish, Sunnah
Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?
Karena
perbedaan perspektif tadi, awalnya Quraish enggan menanggapi buku dari
Pesantren Sidogiri. Namun atas desakan sejumlah pihak, Quraish kemudian menulis
tanggapan dalam Kata Pengantar Sunnah Syi’ah Bergandengan Tangan,
Mungkinkah? edisi terbaru, Mei 2014. Di sini Quraish menegaskan pentingnya
mencari titik temu dan meningkatkan sikap toleransi, bukan malah mempertajam
pebedaan.
“Amat disayangkan
ada di antara umat Islam yang termakan oleh isu yang ditumbuh suburkan oleh
musuh-musuh (Islam) sehingga lahirlah sekian orang atau kelompok yang enggan
melakukan pendekatan, bahkan mengajak untuk menoleh, lalu kembali ke masa lalu
yang kelam dan diliputi perpecahan. Kita mestinya mengarah ke depan karena kita
adalah putra-putri masa kini, bukan masa lalu”
Pada
bagian lain, Quraish menjelaskan bahwa “upaya mendekatkan” adalah keniscayaan
yang dituntut agama, demi kepentingan jangka pendek dan panjang umat:
“…pendekatan
itu bukanlah bermaksud menjadikan mereka menyatu, tapi mengundang mereka
memahami sikap masing-masing secara objektif dan adil, lalu bergandengan tangan
tanpa melebur identitas, yakni biarlah yang
Sunni tetap Sunni dan yang Syiah pun tetap Syiah. Namun, keduanya berjalan
seiring mengarah ke depan menuju kejayaan umat dan bangsa.”
Qurasih juga menyayangkan tiadanya
sanggahan baru dari para santri muda Pesantren Sidogiri itu terhadap bukunya:
“Yang
ada hanya pengulangan pendapat-pendapat lama yang telah usang, yang hidangannya
bila disodorkan pada masa kini sudah basi atau sangat membosankan, seakan-akan
kita hidup pada masa lalu, atau seakan-akan kita terlambat lahir.”