Tulisan ini penulis kutip dari kitab Tafsir Al-Mishbah karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA
mudah-mudahan bisa menjadi referensi tambahan dari kitab-kitab Tafsir lainnya...
AYAT 51-52
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan
Nasrani sebagai auliyaa’, sebagian mereka adalah auliyaa’ bagi sebagian yang
lain. Barang siapa diantara kamu menjadikan mereka auliyaa’, maka sesungguhnya
dia termasuk sebagian mereka. Sesungguuhnya Allah tidak member petunjuk kepada
orang-orang yang zalim. Maka engkau akan melihat orang-orang yang ada penyakit
dalam hatinya bersegera mendekati mereka seraya berkata: ‘Kami takut mendapat
bencana.’ Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan atau suatu ketetapan
dari sisi-Nya. Maka karena itu mereka menjadi orang-orang menyesal terhadap apa
yang mereka rahasiakan dalam diri mereka”
Jika keadaan orang-orang
Yahudi dan Nasrani—atau siapapun—seperti dilukiskan oleh ayat-ayat yang lalu,
yakni lebih suka mengikuti hukum jahiliah dan mengabaikan hukum Allah, bahkan
bermaksud memalingkan kaum muslimin dari sebagian apa yang telah diturunkan
Allah, maka hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani
serta siapa pun yang bersifat seperti sifat mereka yang dikecam ini, jangan
mengambil mereka sebagai auliyaa’, yakni
orang-orang dekat. Sifat mereka sama dalam kekufuran dan dalam kebencian kepada
kamu. Karena itu wajar jika jika sebagian
mereka adalah auliyaa’ yakni penolong bagi
sebagian yang lain dalam menghadapi kamu karena kepentingan mereka dalam
hal ini sama, walau agama dan keyakinan mereka satu sama lain berbeda. Barang siapa di antara kamu menjadikan mereka
yang memusuhi Islam itu sebagai auliyaa’,
maka sesungguhnya dia termasuk sebagian dari kelompok mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk, yakni tidak menunjuki
dan tidak mengantar, kepada orang-orang
yang zalim menuju jalan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
Karena Allah tidak memberi
petunjuk kepada kaum yang zalim, maka
engkau, wahai Nabi Muhammad dan siapa pun yang mampu memerhatikan, akan melihat dengan mata kepala atau
mata pikiran, orang-orang yang ada
penyakit dalam hatinya, baik karena kemunafikan maupun keraguan, bersegera bagaikan berlomba dengan yang lain untuk mendekati mereka, yakni orang-orang
Yahudi dan Nasrani itu, seraya berkata
dalam hati mereka, atau kepada orang lain, sebagai dalih menutupi kemunafikan
atau sikap mereka bahwa: “Kami menjadikan mereka auliyaa’ karena kami amat takut mendapat bencana yang demikian besar yang meliputi kami
akibat perubahan situasi sehingga, jika itu terjadi, pasti bencana itu akan
menimpa kami tanpa dapat kami hindari.”
Jika demikan ucapan dan
perilaku mereka, maka mudah-mudahan Allah
Yang Mahaagung akan mendatangkan
kemenangan melalui perjuangan orang-orang beriman sehingga musuh yang
mereka takuti itu tidak berdaya, atau
suatu ketetapan dari sisi-Nya, tanpa usaha sedikit pun dari kaum beriman. Maka, jika itu terjadi, akan terbuka
kedok orang-orang munafik dan mereka, mereka
menjadi orang-orang yang sangat menyesal
terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka, yakni keinginan
mereka menghambat ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.
Kata tattakhidzu/kamu mengambil terambil dari kata akhadza, yang pada umumnya diterjemahkan mengambil, tetapi dalam penggunaannya kata tersebut dapat
mengandung banyak arti sesuai dengan kata atau huruf yang disebut sesudahnya.
Misalnya, jika kata disebut sesudahnya—katakanlah—“buku”, maknanya “mengambil”;
jika ”hadiah” atau “persembahan”, maknanya “menerima”; jika “keamanannya”,
berarti “dibinasakan”. Kata ittakhadza
dipahami dalam arti mengandalkan diri pada sesuatu untuk menghadapi sesuatu
yang lain. Nah, jika demikian, apakah ayat tersebut melarang seorang Muslim
mengandalkan non-Muslim? Tidak mutlak karena yang dilarang di sini adalah
menjadikan mereka auliyaa’.
Dalam al-Quran dan terjemahan oleh Tim Departemen Agama, kata auliyaa’ diterjemahkan dengan pemimpin-pemimpin. Sebenarnya,
menerjemahkan demikian tidak sepenuhnya tepat. Kata auliyaa’ adalah bentuk jamak dari kata waliy. Kata ini terambil dari akar kata yang terdiri huruf-huruf wauw, lam, dan ya’ yang makna dasarnya adalah dekat.
Dari sini kemudian berkembang makna-makna baru, seperti pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama, dan
lain-lain yang kesemuanya diikat oleh benang merah kedekatan. Itu sebabnya Ayah adalah orang paling utama yang menjadi
waliy anak perempuannya karena dia
adalah yang terdekat kepadanya. Orang yang amat taat tekun beribadah dinamai waliy karena dia dekat kepada Allah.
Seorang yang bersahabat denga orang lain sehingga mereka selalu bersama dan
saling menyampaikan rahasia karena kedekatan mereka juga dapat dinamai waliy. Demikian juga pemimpin karena dia
seharusnya dekat dengan yang dipimpinnya. Demikian dekatnya sehingga dialah
yang pertama mendengar panggilan bahkan keluhan dan bisikan siapa yang
dipimpinnya, dan karena kedekatannya itu dia pula yang pertama dating membantunya.
Demikan terlihat bahwa semua makna yang dikemukakan di atas dapat dicakup oleh
kaya auliyaa’.
Dengan memahami kata yang
dibahas ini dalam arti kedekatan cinta kasih, bertemulah ayat diatas dengan
firman-Nya dalam QS. al-Mumtahanah [60]:1 :
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuh kamu sebagai
auliyaa’, kamu menyampaikan kepada mereka (berita-berita Nabi Muhammad) karena
rasa cinta kasih; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran
yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu
beriman kepada Allah, Tuhanmu.” Mereka itu pada akhirnya oleh surah al-Mumtahamah
ini disifati dengan orang-orang zalim. “Dan
barang siapa menjadikan mereka auliyaa’, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim” (QS. al-Mumtahamah [60]:9), sama dengan sifat yang disebut oleh
surah al-Maidah [5]: 51 : ”Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Larangan
menjadikan non-Muslim sebagai auliyaa’
yang disebutkan ayat di atas, dikemukakan dengan sekian pengukuhan. Antara
lain: 1) pada larangan tegas yang menyatakan janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai
pemimpin-pemimpin. 2) Penegasan bahwa sebagian
mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. 3) Ancaman bagi yang
mengangkat mereka sebagai pemimpin bahwa ia termasuk golongan mereka serta
merupakan orang yang zalim.
Kendati
demikian, larangan tersebut tidaklah mutlak sehingga mencakup seluruh makna
yang dikandung oleh kata auliyaa’.
Muhammad
Sayyid Thanthawi dalam tafsirnya mengemukakan bahwa non-Muslim dapat dibagi
menjadi tiga kelompok. Pertama,
adalah mereka yang tinggal bersama kaum muslimin, dan hidup damai bersama
mereka, tidak melakukan kegiatan untuk kepentingan lawan Islam serta tidak juga
tampak dari mereka tanda-tanda yang mengantar kepada prasangka buruk terhadap
mereka. Kelompok ini mempunyai hak dan kewajiban sosial yang sama dengan kaum
muslimin. Tidak ada larangan untuk bersahabat dan berbuat baik kepada mereka,
sebagai mana firman Allah:
“Allah tiada
melarang kamu untuk berbuat baik/memberikan sebagian dari harta kamu dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil” (QS. al-Mumtahanah [60]:8).
Kedua, kelompok yang memerangi atau
merugikan kaum muslimin dengan berbagai cara. Terhadap mereka tidak boleh
dijalin hubungan harmonis, tidak boleh juga didekati. Merekalah yang dimaksud
oleh ayat ini, demikian juga dengan ayat-ayat lain, seperti:
“Sesungguhnya
Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai teman-teman dekat kamu orang-orang
yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan
membantu(orang lain) untuk mengusirmu” (QS. al-Mumtahanah [60]:9).
Ketiga, kelompok yang tidak secara
terang-terangan memusuhi kaum muslimin, tetapi ditemukan pada mereka sekian
indicator yang menunjukkan bahwa mereka tidak bersimpati kepada kaum muslimin
tetapi mereka bersimpati kepada musuh-musuh Islam. Terhadap mereka Allah
memerintahkan kaum beriman agar bersikap hati-hati tanpa memusuhi mereka.
Firman-Nya:
Barang siapa di antara kamu menjadikan
mereka auliyaa’, maka sesungguhnya dia termasuk sebagian mereka
mengisyaratkan bahwa keimanan bertingkat-tingkat. Ada di antara orang-orang
yang hidup bersama Rasul ketika itu yang keimanannya masih belum mantap, masih
diselubungi oleh kekeruhan atau semacam keraguan. Mereka tidak harus merupakan
orang-orang munafik yang menampakkan keimanan tetapi menyembunyikan kekufuran.
Mereka tetap dinamai orang-orang yang beriman. Kendati demikian, keraguan yang
masih terdapat dalam hati mereka, dan yang merupakan salah satu bentuk penyakit
jiwa, itulah yang mengantar mereka mengambil sikap bersahabat sangat erat
dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Keraguan itulah yang menjadikan mereka
khawatir mendapat bencana. Mereka adalah sebagian dari yang dimaksud oleh ayat
di atas dengan orang-orang yang ada
penyakit dalam hatinya.
Firman-Nya:
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zalim bukan berarti tidak menyampaikan kepada
mereaka tuntunan agama, tetapi dalam arti mereka tidak diantar menuju jalan
kebahagianan. Untuk jelasnya, bacalah kembali penafsiran ayat keenam surah
al-Fatihah (ihdina ash-shirath
al-mustaqim).
Kata
‘asa bila pelakunya adalah Allah,
seperti firman-Nya di atas, fa’asa
Allah/mudah-mudahan Allah dipahami oleh banyak ulama sebagai isyarat
tentang kepastian. Kata ‘asa/mudah-mudahan
mengandung makna harapan, dan harapan, adalah sesuatu yang belum pasti. Ini
bila pelaku kata ini makhluk. Tetapi, kalau pelakuknya adalah Allah, sifat
Allah Yang Maha Mengetahui itu mengubah makna harapan tersebut menjadi
kepastian. Penggunaan kata ‘asa/mudah-mudahan
dalam ayat ini dan semacamnya merupakan pengajaran kepada umat Islam agar tidak
memastikan sesuatu menyangkut masa depan. Ini sejalan dengan tuntunan-Nya:
“Dan jangan
sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan
mengerjakan itu besok pagi, kecuali (mengaitkannya dengan) insyaAllah/jika
dikehendaki Allah” (QS. Al-Kahf [18]:23).