Selasa, 25 Oktober 2011
Kemudahan Beragama
Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahim
Seorang wanita datang mengadukan suaminya kepada Nabi saw.: "Wahai Rasul, suamiku, Shafwan, menghardik dan memukulku bila aku shalat, memaksaku berbuka bila aku berpuasa (sunnah), dan dia tidak shalat subuh kecuali setelah matahari terbit."
Mendengar keluhan ini, Nabi saw. menoleh dengan seluruh badannya--begitulah cara Nabi menoleh--kepada suami si wanita itu sambil bertanya: "Benarkah itu wahai shafwan?"
"Benar, wahai Nabi," jawab Shafwan tulus, "tetapi aku menghardik dan memukulnya karena (shalatnya panjang) ia membaca dua surah (selain Al-Fatihah) setiap rakaatnya. Telah berkali-kali kutegur, tetapi ia terus menolak. Benar, wahai Rasul, aku menyuruhnya berbuka ketika berpuasa sunnah, sebab aku adalah seorang pemuda sehat yang sering kali tak mampu menahan birahi. Juga benar bahwa aku memang tidak shalat subuh kecuali setelah matahari (hampir) terbit. Sebab keluargaku telah terbiasa bangun lambat, sungguh sulit bagiku bangun di waktu fajar. "
Nabi saw. membenarkan sikap Shafwan, sambil berpesan:"Shalat subuhlah segera setelah engkau bangun!" Kemudian beliau menoleh kepada istri Shafwan dan berkata:"Persingkatlah shalatmu dan jangan berpuasa sunnah kecuali atas perkenan suamimu."
Kisah di atas dikemukakan oleh Ahmad Hasan Al-Baquri, mantan Menteri Waqaf dan urusan Al-Azhar, Mesir, dalam kumpulan tulisannya yang diberi judul Min Adab Al-Nubuwah (Sekelumit Etika Kenabian), ketika membicarakan kemudahan-kemudahan beragama. Memang, Al-Qur'an secara gamblang menggaris bawahi bahwa Allah tidak menjadikan sedikit kesulitan pun dalam hal beragama (QS 22: 78).
Salah satu kaidah hukum Islam menegaskan bahwa "kesulitan melahirkan kemudahan", dalam arti "jika seseorang mengalami kesulitan dalam pelaksanaan agama, maka ia mendapat pengecualian sehingga memperoleh kemudahan". Sayang, jalan-jalan ke udahan itu tidak banyak diketahui umat karena banyak ulama enggan memopulerkannya. Mereka khawatir, dengan memopulerkannya, akan menimbulkan sikap mengabaikan agama, Sikap ini, dari saru sisi, dapat dibenarkan. Tetapi, hendaknya diingat juga bahwa tidak jarang ajaran agama diabaikan sama sekali karena kemudahannya tidak diketahui.
Sungguh menarik makalah Mufti Lebanon Selatan, Syeikh Nadim Al-Jisr, yang pernah disampaikan di Mukatamar Kedua Badan Penelitian Islam di Mesir: "Adalah baik memberi kemudahan, misalnya, dalam bersuci, menggabung shalat (zhuhur dan asar, atau maghrib dan isya) khususnya saat ada uzur (kesibukan) sesuai dengan mazhab ulama Hanbali. Apalagi seperti pada saat sekarang ini, di mana tuntutan untuk bekerja keras dan cepat untuk memenuhi kebutuhan hidup sangat tinggi." Ini bukan berarti menggampangkan ajaran agama, tetapi demikian itulah ajaran agama.
Mungkin ada yang kaget membaca komentar Al-Baquri tentang kisah di atas. Dia menulis: "Rasulullah saw. membolehkan bagi yang terbiasa tidur untuk melaksanakan shalat subuh sesudah terbitnya matahari. Ia tidak berdosa karena keterlambatannya itu. Demikianlah, orang tidak mengenal kemudahan melebihi kemudahan ini." Supaya tidak mengagetkan, perlu ditambahkan bahwa ini tidak berlaku bagi mereka yang berleha-leha di malam hari, juga tidak bagi yang terlambat bangun karena kemalasan.
Wallahu a'lam.....
Lentera Al-Quran/ M. Quraish Shihab...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus