Bismillahi Ar-Rahman Ar-Rahim....
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mencipta....
Pada surah al-'Alaq di atas bagaikan menyatakan:
Bacalah wahyu-wahyu Ilahi yang sebentar lagi akan banyak kamu terima dan baca juga alam dan masyarakatmu. Bacalah agar engkau membekali dirimu dengan kekuatan pengetahuan. Bacalah semua itu tetapi dengan syarat hal tersebut engkau lakukan
dengan atau demi
nama Tuhan Yang selalu memelihara dan membimbingmu dan
Yang mencipta semua makhluk kapan dan di mana pun.
Kata
iqra' terambil dari kata kerja
qara'a yang pada mulanya berarti
menghimpun. Apabila merangkai huruf atau kata kemudian Anda mengucapkan rangkain tersebut , Anda telah
menghimpunnya, yakni
membacanya. Dengan demikian, realisasi perintah tersebut tidak mengharuskannya adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karenanya, dalam kamus-kamus ditemukan aneka ragam arti dari kata tersebut. Antara lain:
menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu, dan sebagainya yang kesemuanya bermuara pada arti
menghimpun.
Ayat di atas tidak menyebutkan objek bacaan--dan Jibril as. ketika itu tidak juga membaca teks tertulis--dan karena itu dalam satu riwayat dinyatakan bahwa Nabi saw. bertanya
ma aqra/ apakah yang saya harus baca?
Beraneka ragam pendapat ahli tafsir tentang objek bacaan yang dimaksud. Ada yang berpendapat bahwa itu wahyu-wahyu al-Qur'an sehingga perintah dalam arti
bacalah wahyu-wahyu al-Qur'an ketika dia turun nanti. Ada juga yang berpendapat objeknya adalah
ismi Rabbika sambil menilai huruf
ba' yang menyertai kata
ismi adalah sisipan sehingga ia berarti bacalah nama Tuhanmu atau berzikirlah. Tapi, jika demikian, mengapa Nabi saw. menjawab: "Saya tidak dapat membaca". Seandainya yang dimaksud adalah perintah berzikir tentu beliau tidak menjawab demikian karena jauh sebelum datang wahyu beliau telah senantiasa melakukannya.
Muhammad 'Abduh memahami perintah membaca di sini buka sebagai beban tugas yang harus dilaksanakan (
amr taklifi) sehingga membutuhkan objek, tetapi ia adalah
amr takwini yang mewujudkan kemampuan membaca secara aktual pada diri pribadi Nabi Muhammad saw. Pendapat ini dihadang oleh kenyataan bahwa setelah turunnya perintah ini pun Nabi Muhammad saw. masih tetap dinamai al-Qur'an sebagai seorang
ummy (tidak pandai membaca dan menulis), di sisi lain jawaban Nabi kepada Jibril ketika itu tidak mendukung pemahaman tersebut.
Kaidah kebahasaan menyatakan, "Apabila suatu kata kerja yang membutuhkan objek tetapi tidak disebutkan objeknya, objek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut." Dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa karena kata
iqra' digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan, dan sebagainya, dan karena objeknya bersifat umum, objek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau, baik ia merupakan bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun bukan, baik ia menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Alhasil, perintah
iqra' mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, serta bacaan tertulis, baik suci maupun tidak.
Huruf
ba' pada kata
bismi ada juga yang memahaminya sebagai berfungi
penyertaan atau
mulabasah sehingga dengan demikian ayat tersebut berarti "
bacalah disertai dengan nama Tuhanmu".
Sementara ulama memahami kalimat
bismi Rabbika bukan dalam pengertian harfiahnya. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab, sejak masa Jahiliah, mengaitkan suatu pekerjaan dengan nama sesuatu yang mereka agungkan. Itu memberi kesan yang baik atau katakanlah "berkat" terhadap pekerjaan tersebut juga untuk menunjukkan bahwa pekerjaan tadi dilakukan semata-mata karena "dia" yang namanya disebutkan itu. Dahulu, misalnya sebelum turunnya al-Qur'an, kaum musyrikin sering berkata "
Bismi al-lata" dengan maksud bahwa apa yang mereka lakukan tidak lain kecuali demi karena tuhan berhala
al-lata itu dan bahwa mereka mengharapkan "anugerah dan berkat" dari berhala tersebut.
Mengaitkan pekerjaan dengan nama Allah mengantarkan pelakunya untuk tidak melakukannya kecuali karena Allah dan hal ini akan menghasilkan keabadian karena hanya Allah Yang Kekal Abadi dan hanya aktivitas yang dilakukan secara ikhlas yang akan diterima-Nya. Tanpa keikhlasan, semua aktivitas akan berakhir dengan kegagalan dan kepunahan (baca QS. al-Furqan [25]: 23).
Syaikh 'Abduh Halim Mahmud (mantan Pemimpin Tertinggi al-Azhar Mesir) menulis dalam bukunya,
al-Qur'an Fi Syahr al-Qur'an, bahwa: "Dengan kalimat
iqra' bismi Rabbik, al-Qur'an tidak sekedar memerintahkan untuk membaca, tapi 'membaca' adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan semangatnya ingin menyatakan 'Bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu.' Demikian juga apabila Anda berhenti bergerak atau berhenti melakukan sesuatu aktivitas, hendaklah hal tersebut juga didasarkan pada
bismi Rabbik sehingga pada akhir ayat tersebut berarti 'Jadikanlah seluruh kehidupanmu, wujudmu, dalam cara dan tujuannya, kesemuanya demi karena Allah."
Kata
rabb seakar dengan kata
tarbiyah/pendidikan. Kata ini memiliki arti berbeda-beda namun pada akhirnya arti-arti itu mengacu kepada pengembangan, peningkatan, ketinggian, kelebihan, serta perbaikan. Kata
rabb maupun
tarbiyah berasal dari kata
raba-yarbu yang dari segi pengertian kebahasaan adalah
kelebihan. Dataran tinggi dinamai
rabwah, sejenis roti yang dicampur dengan air sehingga membengkak dan membesar disebut
ar-rabw.
Kata
Rabb apabila berdiri sendiri maka yang dimaksud adalah "Tuhan" yang tentunya antara lain karena Dia-lah yang melakukan
tarbiyah (pendidikan) yang pada hakikatnya adalah pengembangan, peningkatan, serta perbaikan makhluk ciptaan-Nya.
Agaknya, penggunaan kata
Rabb dalam ayat ini dan ayat-ayat semacamnya dimaksudkan untuk menjadi dasar perintah mengikhlaskan diri kepada-Nya sambil menunjuk kewajaran-Nya untuk disembah dan ditaati.
Dalam wahyu-wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw. tidak ditemukan kata
Allah, tetapi kata yang digunakan menunjuk Tuhan adalah
Rabbuka/Tuhanmu, wahai Nabi Muhammad, yakni bukan Tuhan yang dipercaya kaum musyrikin. Perhatikan lima ayat pertama surah ini, demikian juga wahyu berikutnya, surah al-Muddatstsir, al-Qalam, awal surah al-Muzzammil, dan surah Tabbat. Surah-surah sesudahnya sampai dengan surah Sabbihisma kesemuanya tanpa menggunakan kata
Allah, kecuali bila ayat surah itu turun terpisah dengan ayat-ayat surah lainnya. Tidak digunakannya kata
Allah karena kaum musyrikin percaya juga kepada Allah, tetapi keyakinan mereka tentang Allah jauh berbeda dengan keyakinan yang dihayati dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Mereka misalnya beranggapan bahwa ada hubungan tertentu antara Allah dan Jin(QS. ash-Shaffat [37]: 158) dan bahwa Allah memiliki anak-anak wanita(QS. al-Isra [17]: 40) dan bahwa mereka tidak dapat berkomunikasi secara langsung kepada-Nya sehingga para malaikat dan berhala-berhala perlu disembah sebagai perantara anatara manusia dan Allah (QS. az-Zumar [39]: 3). Kepercayaan seperti yang dikemukakan ini jelas berbeda dengan ajaran al-Qur'an atau yang diyakini oleh Nabi Muhammad saw. Hingga jika seandainya dinyatakan
Iqra' bismillah atau "Percalah kepada Allah", kaum musyrikin akan berkata "Kami telah melakukannya".
Kata
khalaqa dari segi pengertian kebahasaan memiliki sekian banyak arti, antara lain
mencipatakan (dari tiada), menciptakan (tanpa satu contoh terlebih dahulu), mengukur, memperhalus, menngatur, membuat, dan sebagainya. Kata ini biasanya memberikan tekanan tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya. Berbeda dengan kata
ja'ala yang mengandung penekanan terhadap manfaat yang harus atau dapat diperoleh dari sesuatu yang dijadikan itu.
Objek
khalaqa pada ayat ini tidak disebutkan sehingga objeknya pun sebagaimana
iqra' bersifat umum dan, dengan demikian, Allah adalah Pencipta semua makhluk.
Wallahu a'lam.....
Tafsir Al-Misbah/M. Quraish Shihab..